Pemerintahan Jokowi Krisis Kewibawaan

Share it:
Jakarta,(MediaTOR) - Riuh rendahnya perseteruan antar anggota kabinet kerja, menteri dengan Wapres, dan kini bahkan ada menteri yang membangkang perintah Sang Presiden. Belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan dalam waktu dekat akan mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid III, yang antara lain akan menurunkan harga BBM. Tentu saja pernyataan sikap Jokowi tersebut cukup melapangkan dada rakyat, ditengah meroketnya harga kebutuhan pokok, harga BBM yang tak menentu, nilai tukar rupiah yang terus merosot, dan ancaman PHK besar-besaran.
     Ironisnya, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said menanggapi pernyataan tersebut bahwa tidak ada perintah presiden untuk menurunkan harga BBM. Sungguh luar biasa pola fikir, Menteri yang mengurusi seluk beluk energi nasional ini. 
      “Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said ternyata gagal paham dengan permintaan 
Presiden Joko Widodo,” ujar anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Nasril Bahar. Pernyataan Nasril ini terkait dengan permintaan Jokowi agar ada kajian dan upaya untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).
     Kamis lalu, Presiden Jokowi meminta Pertamina untuk mengkaji dan menurunkan harga BBM jenis premium. Tapi Sudirman Said mementahkan pernyataan Presiden ini, dengan mengatakan tidak ada kata-kata perintah menurunkan harga. 
    "Ini menteri kurang paham dengan yang diinginkan Presiden. Seharusnya kalau sudah ada kata minta evaluasi, tanya kemungkinan turun, tanpa ada perintah tegas juga harus segera diturunkan. Kan dia bukan anak SD yang baru mengerti kalau ada kata perintah," ucap Nasril Bahar kepada media, Sabtu malam (3/10).
     Jika perintah itu tidak dituruti, lanjutnya, wibawa Presiden bisa terganggu dan jatuh. Ujung-ujungnya, rakyat akan kembali menyalahkan Presiden. Padahal, saat mendengar Presiden memerintahkan Pertamina untuk menghitung ulang dan menurunkan harga premiun, rakyat sudah sangat senang. 

Mencemaskan
     Hal ini dinilai dapat menjerumuskan negeri ini ke jurang kehancuran  
Perkembangan ekonomi sangat mencemaskan akhir-akhir ini. Rupiah terus melorot ke ambang paling kritis seperti di tahun krisis moneter 1998. Gelombang PHK makin nyata. Ketersediaan dan harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin.
    “Apa yang terjadi akhir-akhir ini sungguh sangat mencemaskan. Kalau situasi ini tidak segera diantisipasi dapat menjerumuskan negeri ini ke jurang kehancuran,” ujar C.Heri SL, Ketua Umum LSM NCW, kepada MediaTOR di ruang kerjanya baru-baru ini, menyikapi kondisi NKRI belakangan ini.
    Tanggapan senada juga dikemukakan Marajo E. Hutagaol SH MM, praktisi hukum yang juga pengamat politik. “Perkembangan akhir-akhir ini makin mengkhawatirkan dan dapat terjadi seperti krisis moneter 1998. Kini gelombang PHK makin nyata, sudah puluhan ribu pekerja yang dirumahkan. Sementara, Jokowi dan para pembantu tidak sinergi, bahkan cenderung kontradiktif,” tandas Marajo, via phone selular kepada MediaTOR.
     Sementara itu, menurut Prabu Umbu, Ketua Nasional Komite Kinerja Yudicatif Executif Legislatif Republik Indonesia (KPK YEL RI), sebagai lembaga yang dilindungi dan diawasi Raja Sultan Nusantara, menilai menteri yang membangkang perintah Sang Presiden, bagaikan pembantu melawan majikan.
      “Jika pembantu melawan majikan, tentu jadi rancu. Bagaimana dia akan menjalankan pekerjaan, jika dia tidak mampu menterjemahkan kebijakan sang majikan. Ini suatu pertanda bahwa pemerintahan seperti itu sudah sulit dipertahankan,” tandas Prabu Umbu yang juga Raja dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.
     Sementara itu, prediksi pemerintahan Jokowi bahwa pertumbuhan ekonomi akan meroket di kwartal terakhir tahun ini juga meleset, jauh panggang dari api. Ini karena rendahnya penyerapan fiskal serta merosotnya investasi riil. Disamping itu daya beli atau consumption rate terus melemah akibat merosotnya produktivitas masyarakat.
    “Semua ini mengingatkan kita pada ancaman fenomena “failed state” atau negara gagal” ujar Kastorius Sinaga, Juru Bicara Partai Demokrat.
    Fenomena negara gagal tidak hanya ditandai oleh pertikaian politik seperti di negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Untuk negara-negara demokratis baru emerging market seperti Indonesia, gejala negara gagal selalu dimulai dari ranah ekonomi dan kapabilitas negara di dalam mengelola krisis yg muncul dari sektor ekonomi.
Pemerintah Jokowi-JK harus menyadari ini dan jangan menganggap remeh akan kemungkinan munculnya spiral destruksi krisis ekonomi yg dialami Indonesia saat ini.
    “Kalangan masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan krisis yang sangat hebat saat ini yang kemudian mengerus tingkat kepercayaan mereka terhadap kapasitas pemerintah di berbagai bidang, seperti ekonomi, hukum dan jaring pengaman sosial,” ujar Kastorius yang juga salah satu ketua DPP PD 2014-2019.
Kegaduhan politik di tingkat elite kabinet dan parlemen secara langsung telah mengikis harapan mereka akan adanya perbaikan dari ranah elit politik.
     “Semua ini ibarat bom waktu yang bisa menghantar Indonesia ke ambang negara gagal (failed state). Gagal dari sisi ekonomi yg berujung pada gejolak politik” tambahnya
“Karenanya, Pemerintah harus kerja ekstra keras untuk mengendalikan krisis dan memberi signal positif ke masyarakat akan adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi”
   “Tidak sebaliknya, sibuk saling menyalahkan dan berlindung di balik kesulitan faktor global” tutupnya.
     Sementara itu, menurut Prabu Umbu, Ketua Nasional Komite Kinerja Yudicatif Executif Legislatif Republik Indonesia (KPK YEL RI), sebagai lembaga yang dilindungi dan diawasi Raja Sultan Nusantara, menilai menteri yang membangkang perintah Sang Presiden, bagaikan pembantu melawan majikan.
      “Jika pembantu melawan majikan, tentu jadi rancu. Bagaimana dia akan menjalankan pekerjaan, jika dia tidak mampu menterjemahkan kebijakan sang majikan. Ini suatu pertanda bahwa pemerintahan seperti itu sudah sulit dipertahankan,” tandas Prabu Umbu yang juga Raja dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.(RMol/IM/BPT/AW/TS)

Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: