Jakarta,(MediaTOR) - Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan mampu untuk menekan praktik-praktik memperkaya diri sendiri dengan menggerogoti uang negara, bakal makin sulit. Belakangan ini, bukan dukungan yang diperoleh oleh lembaga anti rasuah tersebut. Sebaliknya, upaya-upaya pelemahan dari berbagai pihak makin deras terjadi.

Sebelumnya, praperadilan juga mengalahkan KPK dalam kasus mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Dalam kasus Ilham, KPK diminta menyerahkan dua bukti permulaan yang cukup. Dalam kasus Budi, hakim mengatakan, KPK tidak berhak menyelidiki Budi karena Budi bukanlah penyelenggara negara dan bukan penegak hukum.
KPK mendapat dukungan besar dari publik karena KPK efektif menangkap koruptor. KPK hadir dari semangat reformasi 1998, semangat memberantas korupsi. Kewenangan KPK diberikan pemerintah dan DPR melalui undang-undang KPK. Dalam sejarahnya, KPK menjerat banyak orang yang korupsi dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi, pimpinan parpol. KPK telah menggoyahkan kemapanan orang yang hidup dari ekonomi korupsi. Pada saat pimpinan KPK mengambil langkah keliru pada masa lalu, ruang pelemahan KPK terbuka. Kini, KPK hanya mengandalkan dukungan masyarakat.
“Situasi seperti itulah yang dihadapi KPK sekarang. Namun, kita mau mengatakan, KPK tidak boleh surut melangkah memberantas korupsi. Putusan praperadilan belum menyentuh materi perkara. Itu baru menyangkut prosedur. Kita dorong KPK mengajukan perlawanan hukum terhadap putusan praperadilan itu. Memperbaiki proses dan prosedur sesuai dengan aturan hukum merupakan ekspresi bentuk perlawanan terhadap korupsi. Jika KPK punya dua alat bukti yang kuat, menetapkan kembali mereka sebagai tersangka tidaklah salah,” ujar Supandi SH, advokat ibukota, yang juga pengamat politik nasional tersebut, kepada MediaTOR baru-baru ini.
Menggelorakan Semangat
Menurut Supandi, yang juga menjabat Sekretaris LKBH MKGR DKI Jakarta, dengan banyaknya ancaman terhadap KPK, kriminalisasi pimpinan KPK, permohonan praperadilan, akan berpengaruh terhadap seleksi pimpinan KPK. “Tren menurunnya pelamar menjadi komisioner KPK harus diatasi dengan menggelorakan semangat pemberantasan korupsi yang hampir pudar. Kita apresiasi pernyataan pimpinan KPK yang merasa tidak menyesal memberantas korupsi meski menghadapi risiko dikriminalisasi. Masa depan pemberantasan korupsi juga ditentukan bagaimana Presiden Joko Widodo memainkan perannya dalam mendukung KPK memberantas koruptor,” tandasnya.
"Pengadilan menerima permohonan pemohon untuk membatalkan penetapan status tersangka bagi pemohon. Keputusan itu pukulan keras bagi KPK," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Mulfahri Harahap kepada wartawan di ruang kerjanya Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (27/5), lalu.
Wakil Ketua Komisi III DPR ini mengatakan, dalam semua keputusan hakim pengadilan praperadilan mempunyai pandangan yang berbeda untuk menerima permohonan dari pemohon.
Pertama, pada persidangan praperadilan Budi Gunawan hakim berpandangan bahwa pemohon tidak berstatus sebagai pejabat negara. Kemudian, hakim dalam pertimbangannya mengatakan alat bukti yang diajukan oleh kuasa KPK, berupa fotocopy-an, sehingga alat bukti itu ditolak, dan hakim memutuskan menerima permohonan pemohon, untuk kemudian dinyatakan penetapan status tersangka bagi pemohon tidak sah .
Yang menarik bagi wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumatra Utara 1 ini, keputusan hakim menyangkut legalitas penyidik. Hakim dalam praperadilan yang dimohonkan oleh Hadi Poernomo mengatakan bahwa penyidik KPK yang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini tidak memilik legalitas. Sebab tidak lagi menjabat sebagai anggota Kepolisian atau Kejaksaan. Karenanya, statusnya, kewenangannya, kedudukannya dan kualitasnya sebagai penyidik, dengan sendirinya gugur.
Dengan adanya keputusan tersebut, akibatnya, KPK harus bersiap menerima gelombang praperadilan, banding, kasasi dan peninjauan kembali pasca putusan praperadilan yang membebaskan Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo karena penyidik yang digunakan KPK tidak sah secara hukum.
“Keputusan pengadilan yang mengabulkan tuntutan Hadi Poernomo bahwa para penyidik KPK tidak sah, akan dimanfaatkan oleh semua pihak yang sedang disidik KPK, yang sudah dijadikan tersangka, yang sudah dijadikan terdakwa dan yang sudah divonis untuk bebas,” ujar Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Khairul Huda kepada wartawan di Jakarta, Senin lalu.
Khairul menyarankan KPK untuk mempersiapkan alasan atau argumentasi hukum yang kuat agar bisa meneruskan penyidikan, penuntutan maupun gelombang banding, kasasi dan PK oleh semua pihak yang selama ini merasa dirugikan atas tindakan KPK.
“Harus ada argumentasi yang kuat agar kasus yang sudah dibangun dan sedang dibangun oleh KPK memiliki keabsahan secara hukum. Tapi ini tidak mudah karena sikap KPK yang selama ini terlalu sombong untuk mendengarkan pendapat para pakar, membuat posisi KPK juga semakin terjepit,” katanya.
Disisi lainnya, menurut Khairul KPK harus menerima kenyataan bahwa banyak langkahnya dalam memberantas korupsi itu melanggar hukum. Keputusan ini dinilainya juga sebagai buah dari sikap keras kepala KPK yang tidak mau mendengarkan saran banyak pihak untuk patuh hukum dalam menegakan hukum.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai adanya inkonsistensi keputusan yang dikeluarkan Hakim Haswandi dalam sidang praperadilan. Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan, dalam persidangan, salah satu pertimbangan Hakim Haswandi yang menyatakan permohonan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo adalah tidak sahnya penyidikan karena latar belakang penyelidik KPK yang tidak berasal dari lembaga penegak hukum.
"Penyidik KPK dianggap enggak berwewenang, tapi di sidang Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng enggak dipermasalahkan," ujar Lalola di Kantor ICW, kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (27/5/2015).
Ia menyebutkan, bukan baru pertama kali Hakim Haswandi memutus perihal tindak pidana korupsi. Hakim Haswandi sendiri diketahui pernah menjadi hakim dalam perkara korupsi dangan terdakwa Anas Urbaninggrum dan Andi Mallarangeng.
Menurutnya, konsistensi lembaga peradilan termasuk hakim Haswandi dalam memutus perkara korupsi sebelumnya justru dipertanyakan.
Hal tersebut dikarenakan sudah banyak putusan pengadilan yang sudah dikeluarkan terkait perkara-perkara korupsi yang ditangani KPK, dan tidak ada putusan yang membantah kewenangan penyelidik dan penyidik mendiri KPK yang menangani perkara korupsi.
"Ini inkonsistensi putusan. Apalagi itu relevan dalam pokok perkara. Jangan-jangan ini kuburan buat KPK. Putusannya enggak konsisten satu sama lain," ujarnya.
"Sarpin melampaui kewenangan dalam memutus (praperadilan Budi Gunawan). Haswandi memutus melampaui kewenangan sampai ke substansi perkara," ujarnya menjelaskan.
Lalola menjelaskan, padahal dalam sidang praperadilan Hadi Poernomo KPK telah membawa alat bukti, namun tidak diperiksa.
Dengan demikian, pihaknya merekomendasikan KPK melakukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Selain itu, KPK harus melanjutkan proses hukum terhadap Hadi Poernomo.
Dalam pertimbangannya, Haswandi menyatakan proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan KPK tak sah karena penyelidik dan penyidik komisi antikorupsi ilegal. “Penyelidik dan penyidik pada KPK diangkat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Haswandi dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 26 Mei 2015.
Putusan itu bagaikan pukulan "maut" terhadap KPK karena berkaitan dengan perkara yang lain. Pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, menilai putusan Haswandi aneh karena berarti mempersoalkan 371 kasus yang ditangani KPK sejak 2004. Padahal sebagian besar kasus itu sudah berkekuatan hukum tetap setelah diputuskan di Mahkamah Agung. “Karena telah inkracht, seharusnya tak ada yang salah dalam penanganan hukum oleh KPK ini,” katanya.
Anggota Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, berpandangan serupa. Menurut Imam, putusan Haswandi, yang juga menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, berlawanan dengan hakim agung di Kamar Pidana Mahkamah Agung. “Dari putusan MA, sudah banyak yang terpidana dari KPK. Kalau dilihat dari putusan Haswandi, berarti putusan hakim agung itu seolah-olah jadi salah semua,” kata Imam.
"Kalau seluruh hakim berpikiran seperti ini, bisa bahaya, pemberantasan korupsi semakin gelap," katanya.(AW/Y/AW/BT/TBc)
Post A Comment:
0 comments: