Didakwa Berulang, Hakim Konstitusi Ingatkan Hal Itu Bisa Perampasan Kemerdekaan

Share it:

Jakarta, (MediaTOR Online) - Halo penyidik-penyidik dan penuntut umum, dengarlah peringatan, sorotan atau bahkan teguran hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Suhartoyo SH MA tentang pengulangan dakwaan berkali-kali yang dilakukan jaksa terhadap satu nama yang tentunya sudah dilakukan penyelidikan dan penyidikan berulang pula oleh penyidik.

Hakim konstitusi yang mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Bali ini menilai pengulangan dakwaan  bisa menjadi preseden negatif terhadap tersangka. Didakwa secara berulang‑ulang, kendati dari yang pertama, kedua atau sampai ketiga tidak dilakukan penahanan, tetap saja orang itu terbelenggu dengan status sebagai tersangka atau terdakwa. "Persoalan ditahan atau tidak ditahan nomor dua, perampasan kemerdekaan itu nomor satu,"  kata hakim pengawal konstitusi  yang mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan itu. 


Pernyataan Suhartoyo ini  berdasarkan fakta yang terjadi di pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia, dan juga yang diajukan pemohon pengujian pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tepatnya Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang oleh para terdakwa berulang diadili dan pemohon uji materi menilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Sebagaimana diketahui Pasal 143 ayat 3 KUHAP berbunyi: Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Berdasarkan hal itu, "korban" pengulangan dakwaan minta MK  menyatakan frasa "batal demi hukum" dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali.

Tersebutlah Herman Yusuf, seorang wartawan yang sehari-harinya meliput peristiwa-peristiwa hukum utamanya persidangan di pengadilan didakwa telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 167 KUHP. Putusan dakwaan pertama hingga inkracht ada perbuatan tetapi bukan merupakan tindak pidana.

Peristiwa sama dengan dakwaan sama termasuk locus delicti, tempus delicti dan saksi korban/pelapor sama kini tengah disidangkan atau tengah berlangsung "siaran ulang" di PN Jakarta Utara. Tentu saja dari sejak eksepsi terdakwa Herman Yusuf dan penasihat hukumnya Aidi Johan SH MH yang menjunjung "solidaritas" meng-yel-yelkan nebis in idem (perkara semuanya sama disidangkan dua kali). 

Namun hal itu rupanya belum cukup bagi majelis hakim pimpinan Agung Purbantoro SH MH untuk mengikuti seperti keinginan seniornya Suhartoyo, pengawal konstitusi. Agung Purbantoro menolak eksepsi sampai akhirnya terungkap lagi fakta bahwa seharusnya perkara tidak layak disidangkan. Alasan, Herman Yusuf selaku pembeli rumah  dari Soeseno Halim terletak di Perumahan Sunter Bisma 14 C 13 No.5 RT 11/RW 08 Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, telah membayar uang muka dan cicilan sebesar Rp 440 juta rupiah 2008 silam. Soeseno Halim pun memberikan kunci rumah. Namun perjanjian jual beli tidak terlaksana. Uang Herman Yusuf tak dikembalikan Soeseno Halim dengan alasan  rumah dijual dulu. 

 Alat Bukti Perkara Diduga Palsu

Herman Yusuf pun menggugat Soeseno Halim dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan dikabulkan pengadilan.  Namun kemudian Herman dilaporkan memasuki pekarangan orang tanpa izin sebagaimana diatur Pasal 167 ayat 1 KUHP,  nomor perkara 1099/Pid.B/2013/PN.Jkt.Utr. Padahal kala itu uang Rp440 juta ditambah biaya rehab Rp150 juta masih dipegang Soeseno Halim.

Kendati putusan perkara tersebut di Mahkamah Agung (MA) melepaskan Herman Yusuf dari segala dakwaan maupun tuntutan pidana, pengulangan penyelidikan dan penyidikan serta dakwaan terjadi. Ironisnya, Berita Acara Pengangkatan Sita Jaminan yang dijadikan JPU Dyofa Yudhistira SH MH diduga tidak sah atau palsu. Hal itu terjadi karena diduga tidak pernah ditandatangani petugas juru sita PN Jakarta Utara sebagaimana dikatakan saksi Sarman, mantan pegawai juru sita PN Jakarta Utara dalam persidangan. Sarman mengatakan tidak pernah melaksanakan pekerjaan pengangkatan sita jaminan yang tidak sah dan mengikat itu.

Soeseno Halim menindaklanjuti putusan nomor perkara 552/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Utr, Jo No.269/Pdt/2014/PT.DKI.Jo.No.1782/K.Pdt/2015 dengan memohonkan pengosongan rumah. Namun oleh Ketua PN Jakarta Utara ditolak dengan petitum amar putusan tersebut tidak mengandung penghukuman. 

Dalam sidang pidana pengulangan,  JPU Dyofa Yudhistira telah menuntut Herman Yusuf enam bulan penjara dengan perintah segera masuk penjara. Herman dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 167 ayat 1 KUHP. Requisitor ini dijawab Aidi Johan dengan pledoi berisikan fakta-fakta persidangan. Dia menyayangkan ketidakjujuran JPU yang menghilangkan keterangan saksi Sarman di persidangan bahwa alat bukti diduga bodong alias palsu. Begini inikah yang dimaksud Demi Keadilan?

 “Sangat disayangkan Berita Acara Pengangkatan Sita Jaminan no.24/eks/2017/PN.Jkt.Utr, yang menurut keterangan pegawai pengadilan tidak sah, tetap saja  dijadikan dasar oleh JPU untuk menuntut Herman Yusuf kedua kalinya,”  ujar Aidi Johan.

Mantan Posbakum PN Jakarta Utara itu menyebutkan, ada empat alasan yang tidak bisa dijadikan dasar surat tuntutan untuk menghukum terdakwa Herman Yusuf. Sudah sepatutnya secara hukum untuk menyatakan unsur pasal 167 ayat 1 tidak terpenuhi. Pengangkatan sita jaminan dengan Berita Acara Sita Jaminan yang diduga tidak sah sebagai produk juru sita ditambah baik tempus delicti maupun locus  delicti dan saksi korban sama menjadikannya tepat  merujuk ke Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara Berkaitan dengan Unsur Nebis In Idem. Selain itu JPU juga dinilai telah menabrak  Pasal 76 ayat 1 KUHP.

Unsur Nebis In Idem tersebut jelas dapat dilihat dari nomor perkara yang ditujukan kepada Herman Yusuf saat ini No.05/Pid.B/2022.PN.Jkt.Utr, didakwa melanggar pasal 167 ayat (1) KUHP,  pelapor Soeseno Halim. Sementara laporan Soeseno Halim yang disidangkan tahun 2013 perkara No.1099/Pid.B/2013/PN.Jkt.Utr, dengan dakwaan sama pasal 167 ayat (1) KUHP, terdakwanya masih Herman Yusuf pula.

“Seharusnya Soeseno Halim bukan menuntut Herman Yusuf yang kedua kalinya dengan pemidanaan karena perbuatan itu telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap, " kata Aidi Johan usai mendengarkan tanggapan jaksa atas pledoinya yang dibacakan JPU Zainal, Selasa (21/6/2022).

Oleh karena itu majelis hakim yang terdiri Agung Purbantoro SH MH (ketua), Hotnar Simarmata SH MH dan Bukoro SH MH (keduanya anggota) diminta agar memutuskan tidak menghukum Herman Yusuf dengan pertimbangan pengulangan dakwaan atau tidak boleh menuntutnya lagi pasal 167 ayat 1 KUHP lantaran sebelumnya perbuatan terdakwa telah diputus oleh PN Jakarta Utara. "Majelis hakim kami mohon agar memberikan keadilan bagi klien kami dengan menyatakan Nebis In Idem sebagaimana dimaksut dalam pasal 76 ayat 1 KUHP. Tentu saja juga memulihkan harkat dan martabat terdakwa Herman Yusuf," harap advokat senior Aidi Johan.***

Share it:

Hukum Dan Kriminal

Post A Comment:

0 comments: