Penasihat Hukum Minta Majelis Hakim PN Jakarta Utara Bebaskan Herman Yusuf

Share it:

Jakarta, (MediaTOR Online) - Penasihat hukum terdakwa Herman Yusuf, Aidi Johan SH MH dan Yona Winiaga SH meminta  majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pimpinan Agung Purbantoro SH MH agar membebaskan kliennya dari segala dakwaan maupun tuntutan (pidana).  Pasalnya, berbagai bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dyofa Yudhistira SH MH tidak bisa dijadikan dasar untuk menghukum terdakwa Herman Yusuf.

Obyek rumah yang dimasuki tanpa izin sampai saat ini sesungguhnya masih dalam status sita atas permohonan Herman Yusuf. Soeseno Halim sebagaimana terungkap dalam persidangan mengajukan permohonan sita melalui penyidik Polres Jakarta Utara. Namun ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.



Hal itu bisa dilihat dalam penolakan izin penyitaan penyidik yang diterbitkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara berdasarkan Penetapan No.1610/Pen.Pid/2021/PN Jkt.Utr, ditandatangani Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Sohe SH MH. Penetapan penolakan tersebut diterbitkan berdasarkan uraian singkat kejadian perkara dan surat perintah penyitaan No.Sp Sita/273/IX/RES 1.2/2021 Reskrim tanggal 10 September 2021. “Tidak cukup alasan untuk memberikan izin penyitaan. Memperhatikan Pasal 38 ayat 1 UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” demikian surat penolakan itu.

Oleh karena adanya penetapan penolakan izin penyitaan tersebut, maka perkara yang didakwakan JPU Dyofa Yudhistira, kepada Herman Yusuf, terdapat banyak kejanggalan dan seharusnya tidak layak disidangkan. Belum lagi adanya pengecualian yang berkaitan dengan hukum keperdataan. dimana JPU dalam berkas dakwaan dan tuntutan tidak memiliki barang bukti.  Sebab, penyidik yang akan menjadikan barang bukti perkara ini dengan menyita satu unit rumah yang ditempati Herman Yusuf saat ini, ditolak dan ditolak  PN Jakarta Utara. “Sepatutnya dakwaan JPU ditolak seluruhnya oleh majelis hakim,” kata penasehat hukum terdakwa Herman Yusuf, Aidi Johan, yang anggota TPDI, Jum'at (1/7/2022). 

Menurut advokat senior ini, kejanggalan kejanggalan dalam berkas perkara ini bukan hanya terkait penolakan izin penyitaan yang dimohonkan penyidik. Tetapi juga terkait adanya unsur Nebis In Idem (pokok perkara sama persis diajukan/disidangkan  dua kali). “Klien kami Herman Yusuf yang dijadikan sebagai terdakwa, tidak boleh dituntut dua kali sebab perbuatan yang baginya telah diputus majelis hakim PN Jakarta Utara dalam perkara nomor 1099/Pid.B/2013 PN.Jkt.Utr sesuai pasal 167 ayat (1) KUHP. Kalau dipaksakan berarti tabrak azas Nebis In Idem,” ujar Aidi Johan.

Asas Nebis In Idem berbunyi: “Kecuali dalam putusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran yang baginya telah diputus oleh hakim negara Indonesia dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi”.

Ditambah lagi keterangan saksi fakta yang terungkap dalam persidangan, yakni saksi Sarman, mantan pegawai Juru Sita PN Jakarta Utara. JPU telah menghilangkan fakta persidangan kesaksian Sarman yang pada pokoknya memberi keterangan menyangkal keikutsertaannya sebagai saksi dalam pekerjaan pelaksanaan Berita Acara Pengangkatan Sita Jaminan. Itu artinya ada dugaan kuat Berita Acara Pengangkatan Sita Jaminan atas obyek murah tersebut bodong kalau tidak mau mengatakan diduga palsu. 

Dengan demikian,  secara hukum Berita Acara Pengangkatan Sita Jaminan yang dijadikan JPU barang bukti atau dasar surat dakwaan untuk menuntut kedua kalinya terdakwa Herman Yusuf, sesuai pasal 167 ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan batal demi hukum. “Sudah cukup bukti bagi majelis hakim untuk membebaskan Herman Yusuf dari dakwaan dan tuntutan hukum jika tidak onzlagh (ada perbuatan tetapi bukan tindak pidana), Nebis In Idem ya bebas murni,” kata Aidi Johan.

Dalam Duplik yang dibacakan sebelumnya di hadapan majelis hakim pimpinan Agung Purbantoro SH MH, didampingi hakim anggota Bukoro SH MH dan Hotnar Simarmata SH MH, disebutkan bahwa hubungan hukum antara terdakwa Herman Yusuf dengan pelapor Suseno Halim, berawal dari jual beli rumah tahun 2008, atas nama SHGB Suseno Halim. Herman selaku pembeli menyerahkan uang sebesar Rp440 juta rupiah. Namun tanpa alasan yang pasti perjanjian jual beli batal dan uang muka beli rumah Rp440 juta rupiah itu dipegang Suseno Halim hingga lebih kurang 9 tahun tidak dikembalikan kepada Herman Yusuf.

Untuk memperoleh uangnya kembali Herman Yusuf menggugat Suseno Halim dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Gugatan Herman dikabulkan dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara memerintahkan Suseno Halim membayar gugatan Herman Yusuf. Namun pada saat gugatan tersebut, Herman Yusuf dilaporkan Pidana sesuai pasal 167 ayat (1) dimana putusan Mahkamah Agung membebaskan Herman Yusuf dari tuntutan JPU. Namun Berita Acara Pengangkatan Sita Jaminan  yang diduga tidak sah dijadikan Suseno Halim juga melaporkan Herman Yusuf dengan pasal yang sama saat ini tinggal menunggu pembacaan putusan majelis hakim.

Atas fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan kedua dalam pokok perkara sama ini, Aidi Johan memohonkan kepada majelis hakim agar memutuskan Herman Yusuf tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya dengan Pasal 167 ayat (1) KUHP lantaran perbuatan Herman Yusuf melanggar pasal 167 ayat (1) KUHP telah diputuskan oleh PN Jakarta Utara. 

“Kami meminta majelis hakim menyatakan Nebis In Idem sebagaimana dimaksut dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP. Menyatakan memulihkan harkat dan martabat terdakwa Herman Yusuf dalam keadaan semula, menyatakan membebankan biaya perkara kepada Negara,” Aidi Johan.

Apabila majelis hakim sampai menghukum dan menjebloskan Herman Yusuf ke dalam penjara sebagaimana permintaan JPU di requisitornya, menurut Aidi Johan, putusan itu bakal menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum Indonesia yang saat ini tengah diupayakan berkeadilan dan berkebenaran hingga memenuhi rasa keadilan masyarakat.***

Share it:

Hukum Dan Kriminal

Post A Comment:

0 comments: