Jakarta, (MediaTOR Online) – Advokat muda energik Dedy Supardi Sinaga SH meminta majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara membebaskan terdakwa Abdul Aziz alias Anen bin Jung Ket (49) dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Kalaupun tidak bebas murni paling tidak onzlagh atau ada perbuatan namun bukan merupakan tindak pidana.
Pasalnya, kata Dedy, kasus hukum atau penipuan yang menjerat terdakwa Abdul Aziz alias Anen bin Jung Ket (49) yang saat ini digelar di PN Jakarta Utara dinilai kental sekali nuansa keperdataan selain sarat kejanggalan.
Selain hanya alat bukti berupa bukti transfer yang dapat diperlihatkan di persidangan sejak awal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yok Lina S dari Kejati DKJ tak bisa pula menghadirkan dua saksi kunci.
Ada yang beralasan tak hadir karena sakit, tapi di persidangan tidak diperlihatkan surat keterangan sakit dari dokter. Akibatnya, ada kecurigaan ada upaya mengaburkan peristiwa hukum.
Pada sidang Selasa (29/10/2024), JPU menuntut tiga (3) tahun penjara pada terdakwa Abdul Aziz. Tuntutan itu dinilai tim hukum terdakwa sebagai tak adil dan bersifat tendensius mengingat proses persidangan terlihat banyak kejanggalan.
Penasihat hukum terdakwa Abdul Aziz, Dedy Supardi Sinaga SH mengatakan, pembuktian JPU sangat lemah dan tidak sempurna, tapi JPU ngotot menuntut kilennya tiga tahun penjara.
"Sayang sekali, jaksa mengabaikan ketidakhadiran saksi-saksi. Seharusnya, semua saksi dihadirkan dalam persidangan. Beberapa poin penting lain juga dikesampingkan, seperti barang bukti," kata Dedy.
“Oleh karena proses pembuktiannya tidak benar, tadi saya sampaikan bahwa pembuktian pidana harus lebih terang daripada cahaya. Sekarang sudah tidak ada waktu untuk hadirkan saksi-saksi lagi karena proses penahanan sudah hampir habis. Klien saya harus dibebaskan,” tegas Dedy Sinaga.
Dedy mengatakan dirinya siap menempuh upaya hukum sampai ke kasasi. “Sebuah janji dari saya, kalau nanti misalnya dihukum terlalu berat, saya akan kejar ke kasasi, biar kita berkenalan dengan hakim-hakim di situ,” tegasnya.
Dedy juga tak puas dengan waktu yang terlalu sempit bagi timnya untuk mempersiapkan pleidoi. Tadinya, Dedy minta waktu satu minggu, tapi hanya diberi dua hari.
Menurut Dedy, jangan karena demi kepentingan penuntut umum, lalu kepentingan terdakwa diabaikan.
Dedy heran, dalam persidangan hakim mengatakan bila pleidoi tidak selesai ditulis (dalam bentuk tulisan) maka kuasa hukum bisa membuat pembelaan secara lisan. Ini pernyataan yang aneh.
Dalam sidang pada Selasa (15/10/2024) terungkap duduk persoalan. Dedy Supardi Sinaga SH, mengatakan, terdakwa Abdul Aziz bertemu dengan William dan mereka berteman.
Abdul Aziz bergerak di bidang investasi emas di Papua. William pada awalnya menawarkan investasi sebesar Rp 1 miliar. Uang ini dikelola dengan baik oleh terdakwa dan menghasilkan uang (keuntungan) sebesar Rp 8.882.250 setiap minggunya.
Selamjutnya William tertarik untuk melakukan investasi dengan jumlah yang lebih besar lagi kepada terdakwa. William menawarkan investasi yang lebih besar lagi yaitu senilai Rp 30.000.000.000.- namun ditolak oleh terdakwa. William menawarkan kembali untuk investasi senilai Rp 25.000.000.000,-, namun ditolak kembali oleh terdakwa. Hingga pada akhirnya terdakwa setuju dengan nominal sebesar Rp 5.000.000.000.-. Dengan keuntungan yang diperoleh William tiap bulan sebesar Rp 220.000.000.-.
Pembayaran pertama, kedua, ketiga dan keempat lancar. Bulan ke-5, terjadi gagal bayar, akibat gejolak aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. “Ada penambang yang dibunuh,” jelas Dedy Sinaga kepada awak media.
Selanjutnya Dedy Supardi Sinaga menegaskan “sesuatu yang sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, notoire feiten notorious. Sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP” sudah sangat jelas bahwa gagal bayar yang dilakukan oleh Abdul Azis adalah karena Force Majeure. Hal itu diatur dalam Pasal 8 Surat Perjanjian Kerja Sama Usaha Nomor: 001/03-PKSU/2022.
Sayangnya, William melaporkan Abdul Aziz terkait kasus pidana. Padahal saat itu Abdul Aziz dan timnya sudah menyampaikan akan bertanggung jawab membayar secara bertahap hingga tuntas.
Laporan William itu dinilai Dedy sebagai suatu bentuk kriminalisasi terhadap terdakwa Abdul Aziz. Sebab, sesungguhnya terdakwa masih beritikat baik untuk membayar, buktinya pembayaran pertama, kedua, ketiga, dan keempat berjalan lancar. Hanya pada pembayaran ke-5 saat terjadi peristiwa penyerangan oleh KKB terhadap penambang dan lokasi tambang emas di Yahukimo, Papua, pada 2022 itu menjadikan semua rencana baik terdakwa hancur berantakan. (Pas)
Post A Comment:
0 comments: