Tunggak Tagihan Rp 1,5 Miliar, Terdakwa Malah Beli Mobil Mewah Dan Kawin Lagi

Share it:

Jakarta,(MediaTOR Online) - Bertransaksi kurun waktu empat tahun belumlah cukup menjadi jaminan kepercayaan. Terbukti, dalam jual beli rokok partai besar-besaran antara Herman Lai dengan Edy Mulyadi berakhir menyedihkan dan merugikan Herman Lai tidak kurang dari Rp 1,5 miliar lebih.

Upaya penyelesaian secara kekeluargaan, dan langkah-langkah win win solution tidak direspon Edy Mulyadi sama sekali. Karenanya, tiada pilihan lain lagi - setelah mensomasi tetapi tak digubris - kecuali melaporkannya ke Kepolisian.

Sidang kasus penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Edy Mulyadi

Hal itu terungkap dalam sidang kasus penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Edy Mulyadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Senin (27/12/2021). Saksi korban kasus penipuan dan penggelapan tersebut Herman Lai pun meminta majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pimpinan Benny Oktavianus SH MH  agar menghukum seberat-beratnya terdakwa Edy Mulyadi. Hal itu dimaksudkan  Herman Lai agar terdakwa Edy Mulyadi tidak berbuat lagi terhadap korban lainnya atau jera hingga tidak semakin bertambah korban penipuan dan penggelapan seperti dirinya.

Herman Lai mengemukakan hal itu saat memberi keterangan sebagai saksi korban penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Edy Mulyadi yang merugikan dirinya Rp 1,5 miliar lebih dalam sidang di PN Jakarta Utara, Senin (27/12/2021). "Saya sudah mencoba dengan segala cara untuk menyelesaikannya. Tetapi terdakwa tidak punya itikat baik, justru saya yang sudah merugi dipermainkan lagi," kata Herman Lai.

Pengusaha pedagang rokok itu (Herman Lai) menyebutkan untuk membayar  tagihan penjualan rokok sebesar Rp 1,5 miliar lebih, terdakwa Edy Mulyadi memberikan empat giro bilyet senilai Rp 1,5 miliar lebih kepadanya. Namun ketika giro bilyet itu jatuh tempo ternyata uangnya tidak ada atau kosong. "Pihak bank menyatakan bilyet giro itu kosong, empat-empatnya begitu," ungkap Herman Lai.

Terdakwa Edy Mulyadi kemudian menjanjikan akan menjual rumahnya atau barang berharga lainnya untuk membayar tunggakan tagihan rokok tersebut. Saksi korban sendiri yang sudah bermintra bisnis atau jual beli rokok dengan terdakwa sejak empat tahun silam sempat menawarkan untuk dibayar Rp 1 miliar saja tagihannya. Tapi itu pun tidak dimanfaatkan Edy Mulyadi. Terdakwa hanya berjanji menyicil dulu Rp 500 juta tetapi lagi-lagi hanya janji ke janji saja.

Selanjutnya terdakwa Edy Mulyadi menawarkan rumahnya di Tangerang untuk dibeli Herman Lai dengan potong tagihan sekaligus, Herman Lai menyatakan kesediaannya membeli rumah yang dalam NJOP-nya seharga Rp 1 miliar lebih itu. Namun Herman Lai sanggupnya membeli hanya sampai Rp 2,5 miliar sebagaimana harga pasaran tentu saja potong tagihan. Pada awalnya Edy Mulyadi menyebutkan anak-anaknya berkeberatan jual rumah tersebut, tetapi belakangan ditawarkan lagi seharga Rp 4 miliar.  “Tentu saja saya tidak mau karena harganya kemahalan," tutur Herman Lai. 

Saksi korban agak kesal dengan kesal dengan ulah terdakwa Edy Mulyadi karena ternyata rumah yang mau dijual tersebut diduga tengah diagunkan di suatu bank.  Herman Lai semakin jengkel lagi karena pada saat tagihan tak dibayar-bayar terdakwa Edy Mulyadi justru membeli mobil mewah baru bahkan juga menikah lagi.

JPU Subhan SH MH mau tunjukan barang bukti giro bilyet kosong kepada majelis hakim

Menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Subhan SH MH dan Ketua Majelis Hakim Benny Oktavianus baik saksi Herman Lai maupun Liem Vina menyebutkan bahwa tagihan mandeg itu terjadi September 2020. Berawal terdakwa Edy Mulyadi meneleponnya meminta didrop rokok per 10 hari atau dua mingguan sebagaimana sebelum-sebelumnya. Kala itu yang dipesan kemudian dikirimkan ke Tangerang (tempat dagang Edy Mulyadi) senilai Rp 1, 5 miliar lebih. Untuk jaminan rokok yang dibeli itu Edy Mulyadi memberikan giro bilyet senilai Rp 1,5 miliar  lebih ke sopir Herman Lai bernama Hasani yang mendrop rokok senilai Rp 1,5 miliar tersebut ke toko tempat dagang Edy Mulyadi. Giro bilyet itu selanjutnya diserahkan Hasani kepada bosnya Herman Lai.

"Jadi, tidak ada sama sekali upaya terdakwa untuk mencicil tagihannya?" tanya Benny Oktavianus.  "Tagihan sebagaimana tercatat sebelumnya tiada berkurang sedikit pun Pak Hakim. Walaupun saya datang ke rumahnya di Tangerang tetap saja dia tidak tergerak bayar tagihan dengan cara menyicil sekalipun," Herman Lai.

Penasihat hukum terdakwa Edy Mulyadi, mempertanyakan apakah saksi korban yang menawarkan kepada kliennya untuk menjual rokok? Herman Lai tetap dengan keterangannya, bahwa yang memesan rokok itu lewat telepon sebagaimana sebelum-sebelumnya adalah terdakwa Edy Mulyadi. 

“Jadi, saksi (korban) tetap dengan keterangannya bahwa yang memesan rokok adalah terdakwa, bukan saksi yang tawar-tawarkan,” tanya Ketua Majelis Hakim untuk memastikan, yang dijawab Herman Lai: “Ya Yang Mulia, dia yang pesan lewat telepon”. 

"Saya akui sudah lama kami terikat jual beli Pak Hakim. Tetapi kalau seperti saat ini akhirnya, saya pusing Pak Hakim, saya dikejar-kejar penagih juga akibat ulah orang ini (Edy Mulyadi). Saya kan hanya ambil untung sedikit saja selama ini. Jadi, yang ditipunya ini termasuk modal saya, sudah rugi banyak saya," kata Herman Lai.***

Share it:

Hukum Dan Kriminal

Post A Comment:

0 comments: