Konversi Lahan Meluas, Petani Kehilangan Mata Pencaharian

Share it:
Subang,(Media TOR)
   Aktifitas konversi lahan pertanian di Kabupaten Subang, Jawa Barat kian meluas. Warga, khususnya kalangan petani bakal kehilangan mata pencaharian
Dari data yang berhasil dihimpun, kegiatan yang merugikan petani tersebut belakangan ini makin merajalela. Apalagi setelah para investor berhasil mengkonversi lahan pertanian di Gembor Pagaden, di Manyeti Dawuan, di Ciasem Hilir Ciasem, di Kali Sumber Ciberes Patokbeusi, di Cinangsi Cibogo, Dan selanjutnya di Pabuaran seluas sekitar enam hektar akan tergerus lagi dijadikan lahan industri.

    Hal itu diungkapkan Sekretaris Umum DPP Gerakan Investigasi Antar Lembaga (Ormas Gival) Harmansyah SH, kegiatan konversi lahan pertanian teknis produktif semestinya tidak lagi terjadi. Seperti konversi yang terjadi di Gembor Pagaden sekitar 5 hektar, di Manyeti Dawuan sekira 16 hektar, di Ciasem Hilir Ciasem sekitar 5 hektar. Juga di Kali Sumber Ciberes Patokbeusi sekitar 3,7 hektar, di Cinangsi Cibogo sekitar 51 hektar. Dan akan dibangun lagi di Pabuaran Kecamatan Pabuaran sekira seluas 6 hektar akan dijadikan lahan industri.

   "Siapa yang peduli ketika lahan-lahan sawah sebagai tempat cari makan kuli tani dikonversi menjadi lahan industri. Mestikah lahan sawah di Subang akan habis dikonversi, ironis memang,"jelas Harmansyah.

   Senada dengan pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan Atep Afia, yang juga seorang pengelola Pantona News.com. Atep memandang apabila dilihat dari aspek kuantitas petani dan keluarganya masih merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Sedangkan bagian terbesar dari seluruh petani tersebut ialah petani yang mengelola sawah, menanam padi, atau bermata-pencaharian dari usaha tani padi sawah. Menyangkut segi kuantitatif yang makin menyusut memang tak dapat dipungkiri, salah satu alasan kenapa petani meninggalkan sawahnya hingga jumlahnya makin menyusut, ialah karena tekanan terhadap lahan.

   Tekanan terhadap lahan yang diusahakan terutama di daerah-daerah transisi yang menjadi sentra industri. Sebagai contoh, di daerah-daerah seperti Tangerang, Serang, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Bandung dan Bogor, angka penyusutan luas sawah jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Di daerah-daerah yang sebenarnya menjadi sentra produksi padi nasional tersebut, sejak beberapa dekade yang lalu telah berdiri ribuan industri. Di daerah Cikarang, Bekasi umpamanya ribuan hektar sawah telah dikonversi menjadi kawasan industry, bahkan yang beririgasi teknis.

   Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, laju konversi lahan sawah mencapai 110 ribu hektar per tahun sejak 2000 lalu. Ternyata pencetakan sawah baru hanya sekitar 30-52 ribu hektare per tahun, Jika ratusan ribuan hektar sawah dikonversikan menjadi tataguna lahan lainnya, maka jutaan orang petani “dipesangon” dan harus mengubah irama kehidupannya, tidak lagi menggantungkan diri pada usaha tani sawah.

    Secara nasional jumlah pemborosan akibat sawah dialih-fungsikan mencapai ratusan milyar rupiah per tahun, belum termasuk biaya sosial-ekonomi yang harus dipikul petani. Sebagai kompensasi dari alih fungsi sawah itu tentu saja harus dicetak sawah baru, padahal selama ini upaya tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah, yakni mengingat biaya investasi yang tinggi dengan tingkat keuntungan yang bakal diraih kurang layak.

   Sebenarnya pemerintah telah menetapkan bahwa sawah berpengairan teknis sama sekali tidak boleh diubah peruntukannya menjadi areal bagi kebutuhan lain seperti perumahan dan kawaan industri. Tapi ternyata tata ruang di daerah kota dan kabupaten tidak selalu serasi dengan ketentuan dan kepentingan nasional.

    Tingkat penyusutan areal persawahan semakin menjadi-jadi, maka tak heran jika seorang Guru Besar Teknologi Pertanian IPB, Soedodo Hardjoamidjojo pernah mengemukakan konsep “sawah Lindung”, mengambil analogi dari “hutan lindung”. Untuk menerapkan konsep tersebut diperlukan adanya ketegasan dari pihak pemerintah, termasuk dalam penyusunan dan pembakuan tata ruang. Karena sawahnya dilindungi maka petaninya pun perlu mendapatkan perlindungan kerja dan usaha, dan kalau memungkinkan diberi insentif yang memadai.

   Melalui keputusan presiden sebenarnya pemerintah pusat telah melarang sawah beririgasi diubah fungsinya. Ternyata masih banyak daerah kabupaten dan kota yang belum sepenuhnya mematuhi peraturan ini. Larangan konversi itu dimaksudkan agar pembuatan lahan sawah abadi 15 juta hektare bisa cepat terealisasi. Pemerintah pernah membuat target pembentukan 30 juta hektar sawah abadi, meliputi sawah irigasi dan sawah kering masing-masing 15 juta hektar.

    Eksistensi petani akan bertahan jika sepanjang masih tersedia lahan garapan, untuk petani padi tentu saja ketersediaan sawah sebagai tempat produksi harus ada jaminan. Penyusutan areal pesawahan yang hampir tidak terkendali selain menghilangkan masa depan petani juga mengancam kondisi perberasan nasional. Padahal selain menjadi komoditas sosial dan ekonomi beras pun menjadi komoditas politik.

    Dalam hal ini diperlukan keseriusan dari pemerintah yang berkuasa untuk melindungi keberadaan areal pesawahan sekaligus menjamin kelangsungan hidup bagi petani yang mengelolanya. Selama ini petani telah berperan dalam penyediaan bahan pangan nasional, petani tidak memerlukan status sebagai “pahlawan swasembada beras”, petani hanya memerlukan perlindungan iklim usaha yang sehat. Tidak lagi direpotkan dengan ancaman kehilangan lahan garapan, kelangkaan bibit, pupuk dan pestisida palsu, permainan harga oleh tengkulak dan beragam gangguan usaha lainnya. Nah, siapa yang akan berpihak pada keberadaan sawah beserta petaninya ?(daus).

Share it:

Daerah

Post A Comment:

0 comments: