Perpu Ormas Bakal Kekang Demokrasi

Share it:
 Jakarta,(MediaTOR Online) - Tiada angin ataupun badai, tiba-tiba pemerintah terbitkan Peraturan Pengganti  Undang-Undang (Perpu) tentang pengaturan eksistensi organisasi kemasyarakatan (Ormas). Kabarnya, kehadiran Perpu No.2/thn 2017 untuk meredam gerakan sebuah Ormas yang katanya anti Pancasila. Jika menggunakan UU No.17/thn 2013  yang lahir di era SBY, harus melalui proses peradilan, sehingga pemberian sanksinya cukup berliku.
    Namun demikian, kini menuai pro kontra yang cukup marak. Keberadaan Perpu ini dinilai banyak kalangan dapat disalahgunakan pemerintah untuk melindungi kepentingannya. Sehingga bila ada ormas yang kritis atau mbalelo, Perpu ini dapat menjadi  sarana untuk meredam. Kemudian terjadilah like and dislike. Pada akhirnya akan bermuara pada pengekangan demokrasi. 
      Bahkan Kuasa Hukum Aliansi Nusantara, Wahyu Nugroho menilai Presiden Joko Widodo gagal paham atas terbitnya Perppu Ormas.
     "Kami melihat adanya gagal paham dari presiden atas terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan," kata Wahyu di kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis, kemarin.
   Wahyu mengatakan, ada beberapa pasal yang dipersoalkan sehingga diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi mengenai Perppu ormas tersebut.
    Menurutnya, Perppu Ormas itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 1 ayat 2, Pasal 1 ayat 3, Pasal 28, dan Pasal 28D ayat 1.
   "Kami menilai Perppu ini dalam Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 82A merupakan Pasal jantung, keseluruhan Perppu ormas bertentangan dengan UUD 1945," ujarnya.
    Kata dia, dalam Pasal 61 dan 62 dinyatakan terkait masalah sanksi administratif yaitu pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum oleh menteri terkait yakni Menkumham. Pasal ini menafsirkan perbuatan ormas manapun yang dianggap menyimpang menurut pemerintah, maka secara sepihak akan dicabut status badan hukumnya tanpa didahului proses pengadilan.
   "Perbuatan ini menunjukan ketidaktatoran negara terhadap ormas, lebih membahayakan daripada rezim Orde Lama dan Orde Baru," katanya.
   Kemudian, dia berpendapat bahwa Perppu ormas yang mengatur ketentuan pidana dianggap aneh. Hal itu tertera dalam Pasal 82A ayat 1 dan 2.
   Intinya, bahwa setiap anggota atau pengurus ormas yang dengan sengaja secara langsung atau tak langsung dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan, paling lama 1 tahun. Sedangkan, pada ayat 2 dijelaskan, pidana dengan seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
     Senada, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai era Presiden Joko Widodo lebih kejam dibandingkan dengan zaman penjajahan Belanda, Orde Lama dan Orde Baru.
      Pernyataan Yusril tersebut menyikapi terbitnya Perpu No. 2/2017 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 17/2013 tentang organisasi kemasyarakatan yang isinya norma atau aturan tentang berbagai hal tentang organisasi kemasyarakatan. Perpu ini berlaku umum terhadap ormas lain di Indonesia.
    Menurutnya, masih banyak masyarakat dan bahkan pimpinan Ormas Islam yang gembira dengan terbitnya Perpu No 2/2017. Mereka mengira Perpu ini adalah Perpu tentang Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia.
    Perpu No. 2/2017 ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu antara lain "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c Perpu ini.
    Terhadap ormas yang melanggar pasal di atas dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Jadi bisa dikenakan salah satu atau kedua-duanya.
    Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu ini adalah "pencabutan status badan hukum" oleh Menkumham.
    Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perpu ini sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut. 

   Semua proses di atas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meminta pendapat pihak lain.
    Tetapi proses pembubaran ormas tersebut dilakukan Menkumham tanpa proses pengadilan. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU No. 17 Tahun 2013, yang mewajibkan Menkumham untuk lebih dulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan ormas. Ormas yang akan dibubarkan itu berhak untuk membela diri di pengadilan.
  "Dengan Perpu yang baru ini, Menhumkam dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat, pekan lalu.
    Dalam praktiknya nanti, Presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkumham untuk membubarkan ormas, tanpa Menkumham bisa menolak kemauan Presiden.
    Selain sanksi administratif seperti di atas,  diberi sanksi pidana dapat dikenakan kepada "setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila.
    Dalam pandangan Firdaus SH, terbitnya Perpu No. 2/2017 ini memberikan kesan nyata bahwa hukum diatur oleh kekuasaan. “Perpu ini sangat potensial mengekang demokrasi. Reformasi hukum telah gagal total,” tandas advokat ibukota yang juga aktifis politik dan LSM tersebut kepada MediaTOR, baru-baru ini, di ruang kerjanya, menanggapi pro kontra Perpu keormasan.(MS/TS/MT/Sc)

Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: