UU Pemilu Itu ....

Share it:
     Pembahasan Rancangan UU Pemilu, setelah melalui proses yang alot dan panjang,  akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang dengan satu poin krusial, yakni ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen, pada Jumat dini hari, 21 Juli 2017. Meskipun sebelumnya diwarnai walkoutnya tiga Wakil Ketua DPR.
    Alotnya pembahasan membuktikan, tak ada lagi kepentingan bangsa. Semata-mata demi  kekuasaan bahkan keputusan MK bahwa presidential threshold (PT) 0 %  dikarenakan Pemilu  Pileg dan Pilpres dilakukan serentak, tak lagi digubris pemerintah dan DPR. Pemerintah   plus parpol pendukung ngotot PT harus 20 %, sementara oposisi minta 0 %.  
     Setelah melalui proses yang alot dan panjang, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilu menjadi Undang-Undang dengan satu poin krusial, yakni ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen, pada Jumat dini hari, 21 Juli 2017. Meskipun diwarnai walkoutnya tiga Wakil Ketua DPR.
    Beleid baru ini membuat partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Presiden tahun 2019 jika memiliki sedikitnya 20 persen kursi di DPR.
     Ketua DPR Setya Novanto mengambil alih sidang paripurna setelah tiga Wakil Ketua DPR walk out atau keluar ruangan rapat sebagai bentuk protes. Novanto langsung meminta persetujuan peserta sidang untuk mengesahkan RUU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen, setelah menerima palu sidang dari Fadli Zon yang walk out.
    Pemerintah berdalih PT yang diajukan dalam UU Pemilu tersebut konstitusional, karena tidak bertentangan dengan putusan MK. Sementara parpol yang menentang menganggap hal tersebut in konstitusional.
    Sebagai masyarakat awam, kita tak habis pikir. Pelaksanaan pemilihan legislatif dan presiden dilaksanakan secara serentak, lantas untuk menghitung angka 20 % yang dimaksud, kapan? 
   Nampaknya, sulit dibantah bahwa rakyat hanya alat mencari kekuasaan. Setelah memperoleh kursi kekuasaan, rakyat atau wong cilik yang memberi mandat, dilupakan. Hanya mampu mengelus dada, saat uang rakyat jadi bancakan atau ada kebijakan yang tidak pro rakyat. Mau  dibawa kemana negeri ini?
   Jangan lupa, suara rakyat adalah suara tuhan. Vox populei vox dei! (*rd)   
Share it:

Opini

Post A Comment:

0 comments: