Saksi Korban Kasus Dugaan Pemalsuan Mengaku Sering Dapat Intimidasi dan Ancaman Pembunuhan

Share it:

Jakarta, (MediaTOR Online) – Kasus pemalsuan yang merugikan saksi korban Katarina Bonggo Warsito sudah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Namun, dia mengaku dirinya yang juga sebagai pelapor sering mendapat ancaman, intimidasi dari berbagai pihak tak bertanggung jawab. Nyawanya diancam dihabisi pula. 

Salah satu yang mengintimidasinya diketahui telah meninggal dunia, terjun dari apartemen tanpa ada yang tahu sebabnya. Notaris yang membuat akta yang menjadi bahal soal pun, telah meninggal dunia. Maka semakin ada alasan membuat penanganan kasus ini tersendat.

Sidang kasus dugaan pemalsuan dengan terdakwa Biksuni Eva Jauwan dan Aky Jauwan di PN Jakarta Utara.

Aparat penegak hukum pun dicurigai Katarina berupaya untuk menghentikan proses pencarian keadilan yang dilakukannya. Puncaknya penegak hukum itu berkata: “Anda harus mendatangkan ahli perkawinan”. Apa iya, apa ada hubungan dengan pasal 266 KUHP. 

Penegak hukum beralasan jikalau itu tidak ada, maka tidak akan ada tersangka. Berarti tidak akan ada pula penyidikan. Hal hampir terjadi di Kejaksaan Tinggi DKI, diminta keterangan ahli agama Buddha dari Bimas Kementerian Agama tentang harta gono gini dalam agama Buddha. Hal itu dinilai Katarina tidak relevan dengan pasal 266 KUHP.

Katarina mengakui, ada tekanan dialaminya saat ada oknum  aparat penegak hukum meminta uang hingga Rp 100 juta rupiah agar kasusnya sampai pengadilan. Tawaran Rp 600 juta datang dari arah berlawanan yaitu untuk mencabut perkara.

Namun akhirnya perkara dengan nomor 246/Pid.B/2024/PN Jkt.Utr ini bergulir di PN Jakarta Utara. Hanya saja dari tiga tersangka hanya dua yang duduk di kursi pesakitan. Seorang disebutkan berada di Australia bukan sebagai buronan. 

Terdakwa Eva Jauwan diapit pengacaranya.

Terdakwa yang rohaniawan, Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira tidak dicopot status kerohaniawanannya. Eva juga tidak ditahan. Oleh karena itu,  Banthe Bodhi mendesak Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK), Penjaringan, Jakarta Utara, agar memecat Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira. Bahkan penegak hukum pun diminta supaya menjebloskannya ke dalam tahanan. 

Pasalnya, rohaniawan atau biarawati Buddhis bernama Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira diduga terlibat tindak pidana dengan nomor perkara 246/Pid.B/2024, bahkan kasusnya sudah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. 

Kasusnya, dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik melanggar pasal 266 KUHP. Dugaan perbuatan itu dinilai telah mencoreng institusi dan umat Buddha.

Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira dicurigai berlindung di balik Vihara Dharma Suci PIK tempatnya bernaung.

Hal itu dikemukakan Bikkhu Bodhi Wijaya Ng Jagarapanno atau Banthe Bodhi selaku penasehat perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) DKI Jakarta, dan anggota Sangha Dhammaduta Indonesia.

Banthe Bodhi mengaku pernah melakukan mediasi antara Biksuni Eva alias Suhu Vira bersama terdakwa Aky Jauwan (ayah Biksuni Eva Jauwan) dan keluarganya dengan Katarina Bonggo Warsito (saksi korban) di Vihara Hemadhiro Mettavati Temple, di Jalan Mawar SCB No 11 RT 11/RW 1, Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, pada  24 Februari 2024, yang juga dihadiri dua perwakilan Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama yaitu Andi Dela dan Suratman. Namun tidak menghasilkan kesepakatan.

“Mengingat kasusnya sudah berjalan di PN Jakarta Utara, Biksuni Eva Jauwan atau Suhu Vira seharusnya diberhentikan dari keanggotaannya sebagai rohaniawan. Apalagi, kita melihat, Suhu Vira mengenakan jubah biksuni dalam proses hukum di pengadilan, itu tidak tepat,” tutur Banthe Bodhi, Jumat (19/4/2024).

Tindakan yang utama yang harus diberikan kepada Suhu Vira ini adalah pemberhentian. “Dia harus dikeluarkan, dan harus dilepaskan statusnya sebagai rohaniawan, karena diperiksa di Kepolisian, dan disidangkan kasusnya di pengadilan,” ujar Banthe Bodhi.

Dia menegaskan, sejak awal proses pemeriksaan oleh penyidik kepolisian, Biksuni Eva alias Suhu Vira mestinya sudah dilakukan tindakan pemberhentian atau mundur dari rohaniawan. “Diberhentikan atau mundur sebagai rohaniawan sejak awal,” ujarnya.

Keterlibatan dalam kasus pidana ini, kata Banthe Bodhi, sudah sangat merusak nama baik umat Buddha. “Ini merusak nama baik dan citra organisasi Buddhis di Indonesia dan seluruh dunia. Tentang rohaniawan yang melakukan pelanggaran sampai disidangkan oleh negara, seharusnya cukup sidang internal saja sudah cukup bisa diredam. Mengapa dibiarkan begini,” ujarnya.

Banthe Bodhi juga menilai kehadiran Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira di PN Jakarta Utara mengenakan jubah biksu, memperlihatkan bahwa dirinya berlindung di balik status sebagai rohaniawan. “Dari foto yang kita lihat di persidangan status rohaniawannya belum dicabut. Berarti ada indikasi sengaja dilindungi,” ujar Banthe Bodhi.

Dia juga menyayangkan sikap pemerintah dalam hal ini Dirjen Bimas Agama Buddha Kementerian Agama, yang terkesan sangat lamban mengambil tindakan terhadap status yang kurang jelas seperti yang dilakukan Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira.

“Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira ini licik, dia mengerti tentang aturan rohaniawan tetapi dia bertahan mengenakan jubah agar hukum susah menjangkaunya,” ujarnya.

Banthe Bodhi menambahkan pada dasarnya semua yang berstatus rohaniawan Buddha di mana pun berada, apabila terlibat kasus, lembaganya harus mengeluarkan kebijakan agar dicabut dulu statusnya, terlepas dia benar atau salah dari perbuatannya itu. Hukum dasar bagi rohaniawan Buddha sangat tegas,” ujar Banthe Bodhi.

Vihara Dharma Suci PIK yang berusaha dimintai keterangan perihal Biksuni Eva Jauwan tidak bersedia memberi keterangan.

Biksuni Eva Jauwan salah satu terdakwa dalam kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di PN Jakarta Utara (PN Jakut). Dia Biksuni dari Wihara atau Vihara Dharma Suci PIK, Jakarta Utara.

JPU Hadi Karsono dari Kejati DKI Jakarta dan Tri Nurandi Sinaga dari Kejari Jakarta Utara mempersalahkan Eva Jauwan terlibat dalam kasus pemalsuan yang ancaman maksimalnya enam sampai tujuh tahun penjara. Berawal ketika Katarina Bonggo Warsito alias Katarina BW, yang merupakan mantan menantu keluarga Jauwan, dan mantan kakak ipar dari Biksuni Eva Jauwan melaporkan kasus pemalsuan tersebut ke Polda Metro Jaya.

Sewaktu diusut ternyata Aky Jauwan yang merupakan mantan mertua Katarina Bonggo Warsito, dan Ernie Jauwan juga diduga terlibat dalam kasus sama. Namun sampai saat ini Ernie masih berada di Australia. “Tidak pernah dikeluarkan Red Notice atau dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak aparat,” ungkap saksi korban, Katarina Bonggo Warsito. Akhirnya hanya dua orang saja diadili.

Atas perbuatannya itu, JPU Hadi Karsono dan Tri Nurandi Sinaga menjerat  terdakwa I Aky Jauwan AKY dan terdakwa II Eva Jauwan dengan pasal 266 KUHP.  Berawal pada tanggal 7 Agustus 2017 di  Kantor Pemasaran Apartemen Marina Ancol di Jalan Karang Bolong Raya No.1, RT.1/RW.11, Ancol, Kecamatan Pademangan,  Jakarta Utara, kedua terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu. 

Tujuannya, untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran hingga menimbulkan kerugian terhadap saksi korban Katarina Bonggo Warsito puluhan miliar rupiah. Katarina Bonggo Warsito yang pernah menikah dengan Alexander Muwirto dalam akta yang diduga palsu itu menjadi tidak pernah hubungan suami istri.

Persidangan kedua terdakwa tersebut dipimpin majelis hakim Syofia Marlianti Tambunan SH MH, dengan anggota Hotnar Simarmata SH MH dan Dian Erdianto SH MH.(Wil)

Share it:

Hukum Dan Kriminal

Post A Comment:

0 comments: