Proses Hukum Tidak Sah Sebabkan Terdakwa Lisa Rahmat Harus Dibebaskan Karena Dakwaan Maupun Tuntutan Batal Demi

Share it:

Jakarta, (MediaTOR Online) - Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung dinilai tidak didukung alat bukti yang cukup dan fakta-fakta hukum yang mengemuka selama persidangan, mendorong tim penasihat hukum meminta agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membebaskan terdakwa advokat Lisa Rahmat dari dakwaan maupun tuntutan hukum.

Sidang kasus suap dan gratifikasi Lisa Rahmat di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Tim penasihat hukum advokat Lisa Rahmat usai dengarkan requisitor JPU dari Kejaksaan Agung.

Advokat Lisa Rahmat yang diadili dan dituntut bersama bekas pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dan ibunda terpidana Ronald Tannur, Meirizka Wijaya, tentu saja bereaksi keras atas tuntutan berat tidak berdasar  JPU Kejaksaan Agung. 

Pasalnya tuntutan tersebut dinilai tidak berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta hukum yang terungkap selama persidangan kasus tersebut. Bahkan tuntutan terhadap Lisa Rahmat dinilai hanya berdasarkan bukti chat dan catatan-catatan tanpa terpenuhinya dua alat bukti yang sah dan valid. 

Melalui penasihat hukum, Andi Syarifuiddin, disebutkan bahwa tuntutan terhadap Lisa Rahmat dinilai hanya berdasarkan bukti chat dan catatan-catatan dalam dakwaan memberikan suap kepada ketiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan putusan bebas terkait dugaan kasus pembunuhan yang dilakukan terdakwa Ronald Tannur.

“Fakta di persidangan menunjukan bahwa perkara suap yang dituduhkan kepada Lisa Rahmat bukan karena ketangkap tangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP dengan alasan bahwa perkara tersebut telah terjadi beberapa bulan kemudian baru dilakukan penggeledahan, penangkapan dan penyitaan tanpa disertai dengan surat perintah  Syarifuiddinpenggeledahan, surat perintah penangkapan dan ijin penyitaaan dari pengadilan yang berwenang,” tutur Andi Syarifuiddin, Kamis (29/5/2025).

Peristiwa pidana disebutkan bukan karena tertangkap tangan. Melainkan dan seharusnya melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang disertai dengan adanya surat perintah penyelidikan dan penyidikan, surat perintah penangkapan, surat perintah penggeledahan dan izin penyitaan dari pengadilan yang berwenang.

Berdasarkan fakta tersebut, menurut kami penasehat hukum penggeledahan, penangkapan dan penyitaan yang tidak didahului dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang sah adalah proses hukum yang tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku KUHAP.

Selama persidangan terungkap fakta bahwa Lisa Rahmat diadili hanya berdasarkan bukti permulaan,yaitu chat WA dan catatan-catatan yang bersumber dari barang bukti berupa catatan/buku dan handphone yang disita penyidik dari Lisa Rahmat.

Fakta tersebut dikuatkan oleh keterangan ahli pidana yang dihadirkan terdakwa Lisa Rahmat di depan persidangan yang menjelaskan suatu dugaan tindak pidana yang terjadi beberapa bulan atau lampau bukanlah masuk sebagai peristiwa ketangkap tangan, sehingga penangkapan, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tanpa didahului dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang sah adalah tidak sah berdasarkan undang-undang. 

Ahli hukum juga berpendapat bahwa proses hukum yang diawali dengan proses hukum cara tidak sah, namun terdakwanya dibawa ke pengadilan dan dijatuhi putusan bersalah dengan amar putusan sah dan meyakinkan bersalah, putusan tersebut dapat kualifikasi sebagai putusan tidak sah atau batal demi hukum.

Bukti permulaan (chat dan catatan-catatan), menurut ahli,  bukti permulaan tersebut tidak boleh berdiri sendiri harus ada minimal dua alat bukti utama yang sah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 184 KUHAP yang menjelaskan perbuatan terdakwa yang secara nyata melakukan tindak pidana sebagaimana tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada terdakwa.

Ahli juga berpendapat bahwa apabila tidak ada alat bukti utama yang sah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 184 KUHAP yang mendukung bukti permulaan itu, maka proses hukum tersebut harus dihentikan dalam tahap penyelidikan dengan alasan tidak cukup bukti adanya tindak pidana di dalam peristiwa hukum tersebut.

Selain fakta tersebut,  juga terungkap fakta bahwa semua saksi fakta yang dihadirkan oleh JPU di persidangan pada saat ditanya, apa yang saudara lihat, apa yang saudara dengar dan apa yang saudara alami langsung terkait tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa Lisa Rahmat, jawaban mereka semuanya sama “Tidak tahu” dan “Tidak mengerti”. Itu artinya tidak ada fakta yuridis yang menjelaskan bahwa benar Lisa Rahmat telah melakukan tindak pidana suap sebagaimana diuraikan di dalam dakwaan JPU tersebut.

JPU Kejaksaan Agung menuntut Lisa Rahmat selama 14 tahun penjara terkait menyuap hakim agung agar membebaskan Ronald Tannur dalam perkara kematian Dini Sera. Jaksa meyakini Lisa Rahmat menerima suap dan gratifikasi dalam rangka mempengaruhi putusan kasasi. “Menuntut agar majelis hakim memutuskan terdakwa Lisa Rahmat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menerima suap,” demikian jaksa dalam requisitornya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Selain tuntutan hukuman penjara, terdakwa Lisa Rahmat juga dituntut membayar denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.  Tidak itu saja, jaksa juga meminta agar izin praktik advokat Lisa Rachmat dicabut secara permanen.

Lebih lanjut Andi Syarifuiddin mengungkapkan tidak ada satupun alat bukti dari lima (5) alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP yang menjelaskan bahwa benar Lisa Rahmat telah melakukan perbuatan suap kepada ketiga  majelis hakim yang memutus bebas perkara Ronald Tannur. 

Alat bukti dimaksud antara lain;  tidak ada satupun saksi yang dihadirkan JPU di persidangan yang mengaku atau menjelaskan bahwa saksi melihat langsung Lisa Rahmat memberikan suap kepada ketiga hakim PN Surabaya; tidak ada satupun surat yang isinya menjelaskan bahwa Lisa Rahmat telah menyerahkan uang kepada kepada ketiga hakim yang dimaksud, seperti bukti transfer, kwitansi penerimaan uang atau surat eletronik lainnya yang menjelaskan bahwa Lisa Rahmat telah memberikan uang kepada ke majelis hakim tersebut.

“Tidak ada keterangan ahli berupa uji forensik yang menjelaskan bahwa barang bukti berupa uang yang diserahkan kepada hakim Erintua Damanik itu terdapat sidik jari Lisa Rahmad sebagai bukti bahwa benar uang tersebut berasal dari Lisa Rahmat,” ujar Andi Syarifuiddin.

Tidak itu saja, tak ditemukan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang saling terkait atau bersesuaian yang menjelaskan atau membenarkan perbuatan Lisa Rahmat telah memberikan uang atau suap kepada ketiga hakim itu. Terdakwa  Lisa Rahmat dalam pengakuannya menyatakan tidak melakukan perbuatan memberikan uang atau suap kepada ke majelis hakim.

Pengakuan hakim Erintua Damanik yang menerima uang dari Lisa Rahmat adalah berdiri sendiri sehingga tidak memenuhi syarat sebagai satu alat bukti saksi yang sah. Selain itu Erintua Damanik sendiri adalah terdakwa sehingga keterangannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan bukan untuk terdakwa lain.

Menurut Lisa Rahmat, hakim Erintua Damanik pada awalnya tidak mengaku menerima uang dari Lisa Rahmat sesuai BAP awal Erintua Damanik. Namun, berdasarkan keterangan Erintua Damanik yang disampaikan ke Lisa Rahmat bahwa dirinya ditahan penyidik di tempat yang tidak manusiawi sehingga Erintua Damanik tidak tahan, dan setelah dipindah ke ruangan yang ber-AC, Erintua Damik mengaku bahwa dirinya menerima suap dari Lisa Rahmat, sekalipun faktanya tidak menerima uang suap dari Lisa Rahmat.

Sesuai pasal 183 KUHAP, kata Andi Syarifuiddin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jika fakta persidangan tersebut dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP tersebut, maka secara hukum Lisa Rahmat harus dibebaskan dari segala tuntutun hukum, dan diputus bebas oleh hakim pengadilan yang mengadilinya.

Permufakatan jahat itu harus memiliki kualitas yang sama antara para pihak yang bersepakat untuk melakukan suap yaitu penyuap dan pemberi suap. Kualitas sama yang dimaksud adalah salah satu pihak bermaksud memberi agar tujuannya tercapai.

Salah satu pihak yang menerima dengan cara menyalagunakan wewenangnya, karena perkaranya adalah perkara tindak pidana korupsi suap, maka yang bisa menyalagukan wewenangnya adalah penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil sebagai penerima suap berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor  yang tidak bisa berdiri sendiri sehingga harus dihubungkan dengan Pasal 5 atau Pasal 6 UU Tipikor yang berkaitan dengan unsur penyalagunaan wewenang dalam perkara suap.

Pihak-pihak yang bersepakat adalah Lisa Rahmat bukan penyelenggara negara atau Pegawai Negeri Sipil dan Zarof Ricar, maka perbuatan pidana yang dituduhkan kepada Lisa Rahmat tersebut tidak memenuhi unsur perbuatan pidana, sehingga Lisah Rahmat tidak dapat dinyatakan bersalah dalam tindak pidana tersebut dan harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dijatuhi putusan bebas oleh hakim pengadilan yang mengadilinya.

“Dengan faktanya seperti itu secara hukum Lisa Rahmat harus dibebaskan dari segala tuntutan dan dijatuhi putusan bebas oleh majelis hakim yang memeriksa perkaranya,” kata Andi Syarifuiddin.

Alasannya, tuntutan dan vonis yang dinyatakan “sah dan meyakinkah bersalah” sementara bertentangan dengan fakta persidangan yaitu dengan adanya proses hukum yang tidak sah dan tanpa adanya minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 183 KUHAP adalah tuntutan dan vonis yang bertentangan dengan tujuan hukum itu, yaitu menciptakan ketertiban, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat, artinya setiap orang diperlakukan secara adil dan setara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Maka kami tim hukum Lisa Rahmat  berharap majelis hakim yang mengadili perkara klien kami ini dapat memberikan putusan bebas atau putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan fakta persidangan,” harap Andi Syarifuiddin. 

Pengharapan agar hakim membebaskan terdakwa yang tidak bersalah berakar pada prinsip "in dubio pro reo" dan asas praduga tidak bersalah. Prinsip "in dubio pro reo" menyatakan bahwa jika hakim memiliki keraguan, maka terdakwa harus dibebaskan. Asas praduga tidak bersalah menjamin hak-hak terdakwa, termasuk hak untuk mendapatkan pembelaan dan hak untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (WP)***

Share it:

Post A Comment:

0 comments: