NCW: Kekuasaan dan KKN Merusak Etika, Kritikan Rakyat Seperti Aib Bagi Pemerintah

Share it:

Jakarta,(MediaTOR Online) - Power tends to corrupt, absolute power absolutely corrupt. Frasa ini yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana kekuasaan yang berlebihan yang dimiliki oleh Jokowi dan kroni-kroninya membuat sesuatu yang tidak wajar menjadi wajar. Adab dan etika yang sejatinya menjadi panduan dalam mengelola negara dan pemerintahan seperti dijadikan bahan candaan dan gimmick untuk menarik perhatian pemilih, terutama pemilih Gen Z.


Korupsi Kolusi dan Nepotime (KKN) semakin merebak dan berbau amis dimana-mana, semua lembaga yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam Pemilu 2024 seperti latah dan tunduk kepada etika yang tidak mengedepankan adab dan kepatutan.

Kekuasaan yang tidak dibekali dengan ada dan etika akan menghancurkan nilai-nilai peradaban berbangsa dan bernegara jika itu dilakukan oleh seorang pemimpin negara atau pemegang kekuasaan yang diberikan rakyat. Seperti kutipan wawancara sebuah media TV nasional dengan Angelina Sondakh paska keluar dari lembaga pemasyarakatan yang mengatakan, "kekuasaan dan uang itu addicted (kecanduan-red)” ujarnya.

Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasional Corruption Watch (NCW) menggelar konfrensi pers di Kantor DPP NCW yang berada di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis, (21/12/2023). 

“Kami di NCW menduga, apa yang dilakukan oleh penguasa saat ini seperti terinfeksi penyakit mythomania akut. Sehingga apapun yang dilakukan dianggap sebagai kebenaran yang absolut bagi semua orang, padahal itu kebohongan yang akut,” Ujar Hanifa Sutrisna Ketum DPP NCW.

Mythomania atau kebohongan patologis merupakan masalah yang membuat seseorang melakukan kebohongan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini berbeda dengan berbohong biasa yang memiliki tujuan khusus.

Pengidap mythomania biasanya berbohong tanpa disertai tujuan khusus untuk menutupi kesalahan, memutar balikkan fakta atau penyebab lainnya. Salah satu jenis gangguan mental ini terjadi akibat ketidakseimbangan kadar hormon kortisol dalam otak (sumber: halodoc). Gejala-gejalanya antara lain, melontarkan kebohongan baik karena motif maupun tanpa motif, ceritanya yang diutarakan biasanya dramatis, pelik dan sangat detail, pengidap menjadi tokoh utama penyelamat atau korban, pengidap mempercayai bahwa cerita mereka benar-benar terjadi, dan kebohongan disampaikan berkali-kali dan terus-menerus.

Dalam enam bulan terakhir banyak pejabat dan pemimpin partai pendukung penguasa seperti sudah terinfeksi mythomania. Hal ini sangat menyakiti hati rakyat dan merusak cara pikir generasi muda penerus bangsa Indonesia. Lebih dahsyatnya lagi, kebohongan merasa menjadi pahlawan (megalomania) atau korban, menjadi trend baru dalam berpolitik menjelang pesta demokrasi 2024.

Sebut saja kebohongan dan etika yang sangat besar daya rusaknya terhadap kejernihan informasi yang seharusnya disampaikan ke masyarakat belakangan ini sebagai berikut: oknum Menteri Investasi BL bilang kalau sudah lebih 500 kk yang mau direlokasi, kenyataannya baru 50kk yang bersedia pindah; oknum menteri PS yang bilang food estate akan mendukung swasembada pangan, malah negara rugi 6 (enam) triliun, hutan rusak, rakyat terdampak kekeringan, ekosistem di dalam hutan yang ditebang (deforestasi) rusak, lebih miripnya swasembada pangan tidak terjadi;

Selanjutnya, oknum Menkominfo BS bilang akan berantas judi online, namun dugaan bandar judi online raksasa malah tetap berkibar dan menjadi pendana koalisi oligarki untuk pemenangan pilpres 2024; oknum menteri BUMN ET bilang akan menjauhi KKN guna memperbaiki kinerja BUMN, malah diduga kakak kandungnya sendiri terlibat KKN pada proyek-proyek strategis BUMN dan meninggalkan banyak masalah di BUMN;  oknum Menteri Perdagangan ZH bilang akan mengurangi import barang pokok, malah diduga sekarang tersandera karena ulah dan kelakuan korupnya. Malah parahnya lagi menistakan agama saat berpidato demi menjilat calon presidennya; oknum Menko Perekonomian AH, bilang akan memajukan kadernya untuk calon presiden atau wakil presiden, malah karena kelakuan korupnya jadi tersandera harus mengusung ‘anak Presiden’ yang masih labil dalam berpolitik;

Bahkan oknum mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bilang kalau dia dizalimi saat diberhentikan sebagai ketua MK akibat pelanggaran etik berat. Padahal kelakuan bejatnya menggagahi kepercayaan rakyat dan konstitusi dengan mengeluarkan Keputusan MK No 90 yang meloloskan keponakannya bisa jadi cawapres Prabowo yang penuh cacat hukum dan etika; dan yang paling merusak nalar masyarakat Indonesia adalah oknum Presiden RI Joko Widodo yang bilang akan berantas KKN dan menjadikan Indonesia bersih KKN, malah diduga berusaha menghentikan proses penyidikan terdakwa kasus E-KTP Setya Novanto dengan memberi perintah penuh amarah kepada mantan Ketua KPK Agus Rahardjo (kesaksian-red), hal ini melanggar konstitusi, UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 28 Tahun 1999 demi dinastinya terus berkuasa.

“Kekuasaan berlebihan membuat rezim penguasa saat ini membuat KKN semakin merajalela di Indonesia, penegakan hukum pada hakekatnya mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Sekarang ini hukum digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, paradigma yuristokrasi merebak di periode kedua Jokowi saat ini,” ungkap Hanif.

Jika ada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah atau penguasa, maka digunakan kekuasaan hukum untuk membungkamnya, proses kriminalisasi ini terjadi hampir ke seluruh elemen masyarakat, seperti kepada aktivis, akademisi, mahasiswa, pelajar, tokoh agama, politisi dan lingkaran kekuasaan itu sendiri jika tidak mau menjalankan perintah penguasa oligarki.

Belum lama ada dua orang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Melki dan Uniersitas Gajah Mada Gilbran dikriminalisasi. Mereka mengkritik pemerintah Jokowi karena dianggap gagal mengawal demokrasi dan berkali-kali melanggar konstitusi demi melanggengkan kekuasaan dan demi memajukan anak kandungnya Gibran menjadi cawapres Prabowo Subianto.

“Jika kritikan rakyat kepada pemerintah seperti aib yang tidak boleh dibongkar, terus fungsi masyarakat untuk check and balance yang kerap tidak dilakukan oleh oknum wakil rakyat atau pejabat berwenang, kemana lagi rakyat memperjuangkan hak-hak konstitusinya? Apa harus berlaku lagi hukum adat atau hukum rimba biar rakyat didengarkan?” Kata Hanif.

Hanif menyatakan, bahwa kekuasaan yang berlebihan rezim ini harus segera dihentikan, rakyat sudah semakin gerah dengan tingkah laku oknum aparat hukum, oknum polisi dan oknum pejabat yang semakin semena-mena KKN, melakukan intimidasi dan represi sporadis dan memandang rakyat yang tidak sejalan sebagai musuh dan ancaman.

“Rakyat Indonesia, kita akan kuat jika kita bersatu. Ayo kita selamatkan Indonesia dari rezim dan calon rezim yang tidak berpihak ke rakyat!" Ujar Hanif menutup pembicaraan.(Msa).

Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: