Lahan Warga Transmigrasi Desa Limbung Kalbar Diserobot, Berharap Presiden Jokowi Merespon Keluhannya

Share it:
Salah seorang sesepuh transmigran Sui Durian, Kalbar

Kubu Raya,(MediaTOR Online -  Rombongan transmigasi dikirim dari Pulau Jawa pada tahun 1955 pada era Presiden Soekarno dengan menggunakan kapal, sebanyak 455 kepala keluarga (KK) terapung-apung di laut selama 1 minggu. Akhirnya sampai di daratan yakni Borneo, Kalimantan Barat.

Selanjutnya diangkut dengan menggunakan kendaraan selama seharian barulah bisa sampai di daerah Sui Durian, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. Oleh karenanya, transmigran ini disebut trasmigrasi Sui Durian 1955 era pemerintahan Presiden Soekarno, ketika itu Bandar Internasional Supadio belum ada.

Selanjutnya para transmigran berjalan kaki di atas batang-batang pohon kayu menuju lahan dan rumah pembagian dari Dirjen Transmigrasi selama seharian juga. Belum ada parit. Belum ada badan jalan, yang ada hanyalah hamparan luas hasil dari penebangan hutan.

Batang-batang kayunya pun masih utuh berserakan melintang ke sana, melintang ke mari di atas dataran tanah gambut yang masih anyau berrawa. Karena ada air yang belum bisa mengalir ke sungai atau belum ada saluran air.

“Akhirnya sampailah kami ditempat tujuan. Dimana kami harus tinggal. Memulai hidup baru dan membina rumah tangga ditempat yang baru”. Begitulah Mbah Mulyoto (67) sesepuh transmigran Sui Durian bercerita didampingi Mbah Turiman (93) asal Gombong, Jawa Tengah, Mbah Boiman (89) vasal Sleman, Jawa Tengah, dan Mbah Musni (91) asal Trenggalek, Jawa Timur.



Namun bukan kegirangan yang kami peroleh. Bukan kegembiraan yang kami peroleh. Justru air mata bercucuran dari tangisan hampir semua yang ada. Bagaimana tidak, rumah yang akan kami tempati benar-benar sangat memprihatinkan.

Terbuat dari kayu. Berlantaikan papan. Berdinding kulit kayu dan beratap daun nipah. Tak terbayangkan. Bagaimana kalau hujan lebat? Bagaimana kalau angin kuat menerpa? Namun apalah daya nasib harus diterima. Hidup harus dengan perjuangan.


Mbah Turiman (93) asal Gombong, Jawa Tengah.
Apalagi lampu penerangan. Pada tahun itu listik belum masuk. Jika malam datang, penerangan hanya dengan pelita berbahan bakar minyak tanah. Hampir 40 tahun baru menikmati aliran listrik.

“Baru pada tahun 1994, kami baru bisa menikmati terangnya malam dengan aliran lampu listrik,” kata Mbah Mulyoto.

Bukan hanya rumah tempat hunian. Lahan yang sudah ditebang oleh pemerintah diperuntukkan untuk kami bercocok tanam, tutur dia, pada saat itu berwujud tanah gambut rawa yang anyau. Banyak airnya dan bergelimpangan pohon-pohon besar berserakan di atasnya. Sehingga, sangatlah sulit untuk menanam apapun di lahan seperti itu.

“Penderitaan demi penderitaan dilalui. Berladang dengan segala daya dan upaya. Agar kami bisa bercocok tanam. Namun juga belum membuahkan hasil karena lahan yang teramat kurang mendukung untuk pertanian,” ujar Mbah Mulyoto. 


Mbah Boiman (89), asal Sleman, Jawa Tengah.
Akhirnya, pemerintah memberikan jatah hidup berupa beras dan ikan asin sampai 10 tahun lamanya.

Ia melanjutkan, selama 10 tahun itulah kami tidak mengenal lelah bekerja dan bekerja. Mengolah lahan untuk bisa ditanami tanaman palawija dan sejenisnya sampai menjadi patut dan pantas disebut lahan perladangan.

“Akhirnya dari kegigihan kami secara bahu membahu dan bergotong royong mampu membuat parit-parit saluran air. Mampu membuat badan jalan dari tanah asal. Dan mampu membentuk bidang-bidang lahan pertanian hingga akhirnya kami bisa berproduksi sayur mayur dan palawija sampai dengan saat ini,” katanya menceritakan awal membuka lahan sampai akhirnya mampu bercocok tanam.

Namun siapa menyangka, nada bicara Mbah Mulyoto tersedak, tetes-tetes keringat dan perjuangan kami selama ini mengolah lahan hingga menjadi lahan pertanian dirampas orang dan dibuatkan sertifikat.


Mbah Musni (91), asal Trenggalek, Jawa Timur.
“Sampai akhirnya, saat ini sebagian dari kami digugat di pengadilan karena dianggap mengelola lahan tanpa ijin. Dan anehnya, pengadilan mengabulkan gugatan itu bahkan pengadilan tinggi menguatkan keputusan pengadilan negeri,” katanya sembari mengucap pelan, mereka sangat tega.

“Hukum ini sangat kejam. Hukum ini benar-benar mendzolimi kami. Apakah ini yang sering terdengar hukum negeri ini tajam ke bawah tumpul ke atas. Dan hanya berlaku untuk orang-orang yang punya uang. Namun kami masih percaya penguasa akan hadir dan membantu kami,” katanya tegar.
Share it:

Hukum

Post A Comment:

0 comments: