Lunturnya Rasa Kebangsaan Makin Memprihatinkan

Share it:

Jakarta, (MediaTOR) - Tanpa terasa sudah satu abad lebih terjadinya peristiwa kebangkitan nasional yang ditetapkan sebagai momentum awal rasa kebangsaan di negeri ini. Ketika itu, dr Wahidin Sudiro Husodo rela dipenjara demi membela hak-hak kebangsaan yang dia dan rekan-rekannya miliki melalui organisasi bernama Budi Utomo.

Tragisnya, belakangan ini, kalau disimak prilaku, sikap dan moralitas anak bangsa, terlihat makin melunturnya rasa kebangsaan atau nasionalisme. Ironisnya, lunturnya rasa kebangsaan ini kian kronis, sejak terjadinya era reformasi.
Belum lama ini, seorang seniman membuat penilaian tentang mulai lunturnya rasa kebangsaan di negeri ini. Hal ini terindikasi dari prilaku keseharian yang lebih mementingkan individu masing-masing. Disaat memperingati Hari Kebangkitan Nasional, nampaknya kita perlu merenungkan keutuhan negeri yang terbalut dalam bingkai NKRI.
Tak heran, kini semakin banyak terjadi pertikaian, keributan, konflik, bahkan tindakan anarkisme masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam diri mereka telah hilang rasa kebangsaan, rasa bangga sebagai bangsa yang menghormati keberagaman dan perbedaan.
Musisi asal Papua tersebut, Edo Kondologit, mengatakan, saat ini warga negara Indonesia seperti sudah tidak peduli lagi terhadap rasa kebangsaan.
“Saya melihat rasa kebangsaan di hati kita sebagai sebuah bangsa besar sudah mulai luntur. Selama ini semua orang mementingkan kepentingan individu masing-masing,” ujar Edo saat ditemui dalam acara “Dongeng Dan Nyanyian Kebangkitan” di Bentara Budaya Jakarta, belum lama ini.
Warga negara ini, terang Edo, seperti sudah lupa, kalau sebagai sebuah negara, Indonesia punya sejarah panjang yang luar biasa. Kekayaan alam negara ini paling banyak jika dibandingkan dengan kekayaan alam di negara lain.
“Kita lupa akan semua hal itu, karena lebih mementingkan kepentingan individu dan suku. Bangsa Indonesia sudah jarang mengangkat rasa dan nilai ke Indonesiaan yang beragam. Selama ini yang terlihat rasa individu semakin besar dan menggeser nilai-nilai yang beragam,” katanya.
Sebenarnya, untuk mengatasi rasa individualisme yang tinggi pada diri warga negara, Pancasila bisa menjadi solusi.
“Pancasila sebagai ideologi yang luar biasa di dalamnya terkandung nilai universal dan kebersamaan. Seharusnya pancasila bisa menyelesaikan krisis perpecahan yang sedang menerpa bangsa ini,” tutur Edo.
Edo berharap, negara Indonesia tidak sama nasibnya seperti negara Yugoslavia yang harus terpecah belah karena perpecahan yang terjadi.

Memprihatinkan
Ungkapan senada juga ditegaskan aktris Indonesia, Widyawati. “Saya melihat kondisi negeri ini sudah sangat memperihatinkan, kalau boleh dikatakan carut marut. Bisa kita lihat sehari-hari adanya baku hantam, lalu pemerkosaan, dan berbagai macam hal lain yang tidak dapat dicontoh,” ujarnya saat ditemui dalam acara yang sama beberapa hari lalu.
Widyawati menyatakan, Hari Kebangkitan Nasional dapat menjadikan Indonesia bangkit dari apa yang terjadi. Istri almarhum Sopan Sopian ini mengatakan, kalau semua masih punya hati dan mencintai Indonesia, tidak ada lagi orang yang mau merusak, bertindak anarkis dan melakukan hal-hal yang melanggar norma dan hukum.
Widyawati pun berharap, semoga negeri Jamrud Khatulistiwa ini bisa kembali seperti dulu, saat tokoh bangsa atau founding father menyatukan negeri ini.

Banyak Aktivis Reformasi Larut dalam Perilaku Korup
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai sejumlah aktivis 1998 yang ikut memperjuangkan reformasi semakin tidak jelas arah tujuannya. Mereka yang seharusnya berada di garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi, yang merupakan salah satu agenda reformasi, malah banyak yang terjerumus dalam perilaku korupsi itu.
“Yang saya amati, mereka yang saat ini masuk dalam struktur kekuasaan , DPR ataupun pemerintah misalnya, semakin tidak jelas. Harusnya mereka ada di garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Saldi, beberapa waktu lalu.
Menurut Saldi, mereka yang dulu mencela praktik korupsi dan ikut memunculkan reformasi yang beragendakan pemberantasan korupsi, harusnya bertanggung jawab dengan apa yang mereka perjuangkan dulu. Mereka yang justru saat ini menjadi bagian dari praktik tindak pidana korupsi, telah mengkhianati cita-cita yang dulu telah diperjuangkan bersama.
Namun, Saldi tidak mengatakan bahwa agenda reformasi yang telah berjalan selama 14 tahun itu telah gagal. Menurutnya, pertarungan hingga saat ini masih terus terjadi antara perilaku korup dengan penentangnya. “Tapi banyak juga mereka yang justru terperosok ke dalam pelaku korup,” kata Saldi yang merupakan bagian dari aktivis 1998 ini.

Tidak Punya Acuan Visi
Sementara itu, politisi senior Partai Golkar Akbar Tandjung menilai Indonesia kini tidak memiliki acuan bagi pembangunan masa depan bangsanya yang lebih visioner,. Seperti halnya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa Orde Baru.
Menurut Akbar, saat menyampaikan kesimpulan diskusi meja bundar bertema “Menjawab Permasalahan Bangsa: Sumbangsih Pemikiran Alumni HMI” yang diselenggarakan Yayasan Bina Insan Cita, di Jakarta, baru-baru ini, reformasi telah membawa negeri ini pada perubahan cukup siginifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Tapi, setelah praktik politik kenegaraan selama reformasi sejak 1999, terasa ada kekosongan,” ujar Akbar yang juga Ketua Yayasan Bina Insan Cita itu.
Karenanya, ia menambahkan, sangat penting untuk menyusun semacam visi bersama yang komprehensif, baik dari visi-misi presiden terpilih maupun gabungan dari visi misi tersebut dengan pemikiran para tokoh bangsa dan parlemen.
Visi masa depan bangsa yang terarah, terukur, dan dapat dilaksanakan untuk kemajuan bangsa itu sebaiknya disusun setelah presiden baru terpilih.
Sebagai mantan Ketua Partai Golkar dan juga mantan Ketua DPR RI, Akbar menyatakan tidak mungkin Indonesia kembali ke era Orde Baru. Namun Indonesia juga perlu segera merumuskan kepentingan bangsa yang lebih besar dan luas, menyangkut visi masa depan berbangsa dan bernegara.
Ditegaskannya bahwa semua negara memiliki visi yang jelas, ke mana arah pembangunan bangsanya.
“Menurut saya, presiden terpilih pada Pilpres 2014 mendatang, harus segera mengundang tokoh bangsa dari berbagai elemen yang mempunyai kredibilitas, guna membahas dan menghasilkan visi masa depan yang lebih visioner,” ujarnya.
Substansinya, ia menambahkan, bisa merupakan gabungan dari visi misi presiden dan juga sumbangan pemikiran para tokoh bangsa tersebut,” paparnya.
Lebih lanjut dikemukakan, jika visi arah masa depan bangsa itu terbentuk, maka DPR mesti membuat peraturan perundangan yang mendukung visi tersebut. DPR harus serius membuat UU pendukungnya.
“Jika visi masa depan bangsa ini terwujud dan bisa dijalankan presiden serta pembantunya, maka kita berharap, Indonesia makin maju,” katanya. (ROL/TNc/EW)

Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: