Menyoal Kontroversi Pengembalian GBHN

Share it:
Jakarta,(MediaTOR Online) - Banyak pihak khawatir setelah MPR periode sekarang merekomendasikan pada MPR periode 2019-2024 untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Karena amandemen akan meluas pada perubahan sistem pemilu dan MPR kembali jadi lembaga tertinggi. Namun, Ketua MPR Zulkifli Hasan memastikan bahwa amandemen itu hanya akan berkutat pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar pembangunan pusat dan daerah terintegrasi.
    Ternyata tidak semua warisan Orde Baru harus ditiadakan. Buktinya, setelah 20 tahun lebih pasca reformasi kini diwacanakan pengembalian GBHN. Dimana keberadaan GBHN, di era sebelumnya merupakan pedoman kegiatan bagi seorang kepala negara selama lima tahun memerintah. 
     Setelah era reformasi, seorang presiden yang baru terpilih, akan menyiapkan rencana kerja menengah dan jangka panjang sesuai visinya saat berkampanye. Lantas, setiap ganti kepala negara akan muncul ide atau gagasan baru, sehingga selalu ganti program. Akibatnya, program kerja yang dilaksanakan terkesan uji coba. Celakanya, bila sang presiden tidak lagi terpilih pada periode berikutnya, tentunya rencana yang disusun di eranya bakal sia-sia alias mangkrak. Dikarenakan, belum tentu sang presiden baru akan menggunakan program kepala pemerintahan yang digantikannya.
    “Wacana pengembalian GBHN merupakan salah satu bukti gagalnya reformasi. Dan merupakan pengakuan secara tidak langsung bahwa konsep kenegaraan yang selama ini digunakan kurang tepat. Karena saat runtuhnya Orde Baru, para tokohnya tidak menyiapkan agenda-agenda kenegaraan yang  bervisi ke depan. Akhirnya yang terjadi, perjalanan bernegara dan berbangsa terkesan menjadi uji coba. Lantas yang jadi korban, tentunya rakyat,” ujar Firdaus SH
     Hal senada diungkapkan Marajo E. Hutagaol SH MM, praktisi hukum dan politik ibukota kepada MediaTOR di ruang kerjanya baru-baru ini, menanggapi gonjang-ganjing pengembalian GBHN. “Sebaiknya disusun suatu konsep kenegaraan yang matang dan tepat guna. Jangan membuat teori yang terkesan uji coba. Karena yang jadi kelinci percobaan tentunya rakyat,” tandas Marajo.

Terbatas
    Ketua MPR Zulkifli Hasan memastikan bahwa amandemen itu hanya akan terbatas dan berkutat pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar pembangunan pusat dan daerah terintegrasi.

    "GBHN begini, MPR itu waktu kami jadi itu (GBHN) warisan, ada rekomendasi. Nah banyak itu ada minta ganti ke UUD yang lama ada yang minta yang sekarang sudah bagus. Ketemu ya satu (sepakat) perlunya garis-garis besar haluan negara. Agar pembangunan bupati provinsi pusat seiring sejalan," kata Ketua MPR Zulkifli Hasan (Zulhas) di sela-sela acara Jalan Sehat MPR, Jakarta, Minggu lalu.
   Zulkifli menjelaskan, GBHN itu sifatnya filosofis yang memuat visi misi presiden, dan tidak akan secara detail sampai menyetuh angka-angka yang harus dikeluarkan dalam anggaran. Sehingga, tidak lagi menggunakan RPJMN, RPJP yang sifatnya jangka pendek dan jangka panjang.

    "Tapi filosofis misalnya contohnya filosofis itu harus ada kesetaraan (pembangunan), nah itu contohnya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu bagaiman. Ekonomi Pasal 33 UUD 45 filosofi sifatnya dan ini sudah kita rumusan nanti akan jadi buku diserahkan kepada MPR yang akan datang," paparnya.

    Menurut Zulkifli, soal apakah akan diamandemen atau tidak bergantung pada keputusan politik MPR di periode mendatang. Asalnya 3/4 anggota MPR setuju maka amandemen bisa dilanjutkan.
   "Kalau tidak setuju ya enggak bisa jalan ya jadi kita tunggu MPR yang akan datang," ucap Ketua Umum PAN itu.
   Namun Zulhas menegaskan, amandemen itu tidak akan mengembalikam MPR sebagai lembaga tertinggi atau mengubah sistem pemilu menjadi tidak langsung. "Cuma satu aja, namanya amandemen terbatas, amandemen terbatas khusus model GBHN," tandasnya.
(Jo/MST/LRW/Snd)
Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: