Eksekutor Belum Jebloskan Terpidana Robianto Idup Ke Bui

Share it:


Jakarta,(MediaTOR Online) - 
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI Jakarta Supardi SH MH berjanji akan menanyakan progres pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana Robianto Idup ke Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan.

"Saya akan tanyakan dulu ke Pak Kajari Jakarta Selatan bagaimana perkembangan pelaksanaan eksekusinya itu," kata Supardi ketika ditanya perihal belum dieksekusinya terpidana Robianto Idup oleh eksekutor Kejari Jakarta Selatan, Jumat (21/5/2021).

Terpidana Robianto Idup sampai saat ini masih bebas merdeka, kendati Mahkamah Agung (MA) telah menghukumnya tahun lalu. Kepaniteraan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sendiri telah mengirimkan salinan putusan kasus tersebut ke Kejari Jakarta Selatan dan pihak terkait lainnya beberapa pekan lalu. Berdasarkan hal itu bahkan telah dilakukan pemanggilan terhadap terpidana Robianto Idup sebagaimana tercatat di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kejari Jakarta Selatan. "Sudah ada tercatat di sini Surat Perintah pemanggilan untuk terpidana Robianto Idup," kata seorang petugas di PTSP Kejari Jakarta Selatan, Selasa (18/5/2021).

Namun ketika berusaha dikonfirmasi Surat Perintah pemanggilan ke berapakah yang tercatat tersebut ke Kajari Jakarta Selatan, belum dapat diperoleh jawaban. "Bapak sedang keluar kantor, kayaknya rapat di Kejaksaan Agung," kata salah seorang staf di Kejari Jakarta Selatan.

Kasi Intelijen Kejari Jakarta Selatan Sri Odit Megodono masih saja berjanji akan mengecek dulu data-data terkait  pelaksanaan eksekusi terpidana Robianto Idup. Begitu pun, ditunggu sampai beberapa hari, tetap saja masih menjanjikan mengecek data-datanya. "Sebentar ya," katanya. Ketika ditagih hasil penelusurannya dan disebutkan ditunggu, dijawab lagi "Ok". Lagi-lagi berikutnya tidak ada kejelasan apakah panggilan patut telah usai dilakukan eksekutor Kejari Jakarta Selatan namun tak kunjung ditindaklanjuti dengan jemput paksa atau tangkap.

Mengomentari simpang-siur eksekusi terpidana Robianto Idup, seorang praktisi hukum menyebutkan bahwa hal itu sesungguhnya tanggung jawab penuh eksekutor Kejari Jakarta Selatan. "Kalau tidak diekseklusi setelah dipanggil secara patut, tentu ada pertanyaan, ada apa? Bukankah Kejari Jakarta Selatan sendiri selaku eksekutor yang berhutang, karena telah menunda-tunda bahkan tak menjunjung kepastian hukum? Kejari Jakarta Selatan bisa diklasifikasikan sebagai eksekutor yang tidak mau melaksanakan putusan kasasi MA," ujar praktisi hukum yang enggan disebut jati dirinya.

Kasus atau perkara Robianto Idup diakui sudah mempunyai kekuatan hokum pasti dan tetap. Namun upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) ada membatalkan vonis di tingkat kasasi itu. Salah satu contoh yang dilakukan Dalton Ichiro Tanonaka, yang juga sempat menjadi terpidana penipuan. Setelah dijatuhi hukuman di PN Jakarta Pusat, lelaki dibebaskan di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. MA kemudian menghukumnya.

Setelah berlama-lama melakukan pemanggilan patut, lantas kabur yang masuk DPO, putusan PK MA akhirnya menganulir putusan kasasi MA. Padahal PK diajukan saat yang bersangkutan buron, dan MA sendiri sesungguhnya tak berkenaan terima permohonan PK saat pemohonnya buron. Boleh jadi saksi korban Herman Tandrin yang dirugikan terpidana Robianto Idup Rp72 miliar lebih mengkhawatirkan hal serupa terjadi. Sebab, sampai saat ini tidak ada jaminan setiap penegak hukum sepenuh jiwa raganya demi penegakan hukum itu sendiri.

Robianto Idup sebelumnya dituntut JPU Marly Sihombing dari Kejati DKI dan jaksa Boby Mokoginta dari Kejari Jakarta Selatan selama 3,5 tahun penjara terkait kasus penipuan yang dilakukannya terhadap saksi korban Herman Tandrin. Oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pimpinan Florensia Kendengan tuntutan 3,5 tahun itu di-onzlagh-kan. Komisaris PT Dian Bara Genoyang (DBG) itu baru menjadi terpidana setelah kasasi  jaksa dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Pengusaha yang sempat masuk DPO dan di-red notice-kan hingga menyerah di Denhaag, Belanda, itu harus masuk bui selama 1,5 tahun atau 18 bulan penjara.

Kasus penipuan yang menyeret Robianto Idup terjadi sejak ada kerja sama antara dirinya (Robianto Idup selaku Komisaris PT DBG dalam usaha pertambangan batubara dengan Herman Tandrin Dirut PT GPE pada pertengahan tahun 2011.  PT GPE yang memiliki peralatan lengkap diperjanjikan  mengerjakan penambangan batubara di wilayah izin pertambangan PT DBG di Desa Salim Batu Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

PT GPE pun melakukan mobilisasi unit, land clearing dan pekerjaan overburden sesuai yang diperjanjikan sampai Agustus 2011. Kemudian dilanjutkan penggalian batubara September 2011. Namun PT DBG tidak kunjung melakukan pembayaran atas kerja PT GPE hingga mengancam menyetop pelaksanaan pekerjaan penambangan. Selanjutnya Robianto Idup yang sebelumnya sudah saling kenal meyakinkan Herman Tandrin bahwa dirinya bukanlah tipe orang tak konsisten membayar hutang.  Tersangka meminta diteruskan pekerjaan selanjutnya karena akan dibayar sekaligus dengan bayaran yang telah dilaksanakan maupun yang dikerjakan selanjutnya.

PT GPE pun melakukan eksplorasi penambangan batubara hingga menghasilkan sebanyak 223.613 MT atau senilai Rp 71.061.686.405 untuk PT DBG. Namun, pihak PT DBG yang diwakili Robianto Idup tak kunjung membayar PT GPE yang ditaksir mencapai Rp 72 miliar lebih.

Berbagai upaya dilakukan Herman Tandrin tak dihiraukan tersangka Robianto Idup hingga akhirnya Robianto Idup dan Iman Setiabudi  dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Namun hanya Iman Setiabudi yang menjabat Dirut PT DBG, yang bisa diproses hukum. Sedang Robianto Idup kabur hingga masuk DPO dan dirednoticekan sampai akhirnya menyerah di Denhaag, Belanda.

Saat ini ada kesan diperlambat proses eksekusi Robianto Idup, adakah ini dimanfaatkan untuk mengajukan PK? Agaknya penegak hukum sendirilah yang tahu jawabannya. Khususnya eksekutor dari Kejari Jakarta Selatan. *** (rd)


Share it:

Hukum Dan Kriminal

Post A Comment:

0 comments: