Norman Erikson Pasaribu Unjuk Karya Di Belantara Sastra Dunia

Share it:

Jakarta, (MediaTOR Online) -  Ini bukan cerita  tentang karier moncer seseorang aparat atau bir danokrat. Ini juga bukan tentang uang atau gaji bulanan yang seringkali diposisikan segalanya. Sebab, karier dan uang nyaris sudah dalam genggamannya  lampaui kapasitas biasa dan untuk seseorang yang sederhana. Maka tidak heran kalau sembilan puluh sembilan dari seratus sangatlah kesengsem dukuk di posisinya  itu.

Hanya saja baginya tidak itu. Dia lebih memilih meninggalkan itu semua mimpinya yang baru. Maka dia pun berlari mengejar mimpi itu dengan modal bakat terpendam yang agaknya baru disadarinya  ketika seseorang telah bercerita tentang potensi diri dan jalan menuju sukses pada sisi-sisi lain. 

Rutinitas bekerja akhirnya dikalahkan bakat yang baru mencuat dalam gelombang kesunyian. Sempat terbentur riak-riak dan kerikil kehidupan. Berakumulasi dengan ada gaji menjadi tiada, kesulitan finansial terasa komplit. Namun sudah terlanjur ditinggalkan semuanya. Bakat sendiri butuh perhatian, dipelihara dan dipupuk tumbuh-kembangnya.

Intinya bakat  butuh latihan dan penajaman, meski bakat tersebut bukan sepenuhnya sumber bahagia satu-satunya apabila tersalurkan. Dia lebih sebagai buah syukur dan sabar. Lagi pula bakat yang dipergunakan setengah sama saja dia setengah gagal pula.

Namun bakat besar sekalipun tiada  artinya tanpa kerja dan kerja keras dan aspirasi kuat. Bakat adalah tindakan yang bisa dilakukan dengan baik dan tidak membiarkannya terkubur di luar pandangan. Dia menjadi percuma dibawa dari lahir kalau tidak ditanam di wadah tepat, disiram, dipupuk hingga menghasilkan buah karya kebanggaan, kesenangan dan kebahagiaan bahkan nyaris segalanya. 

   

Norman Erikson Pasaribu dengan buku karyanya yang mendapatkan penghargaan kelas dunia                                               

Sastrawan Mastera 2017

Begitulah terjun bebasnya  Norman Erikson Pasaribu dari birokrat suatu kementerian menjadi memilih penulis atau sastrawan di belantara sastra dunia. Banyak memang prestasi yang ditorehkannya kini. Sebandingkah itu semua dengan yang sudah dibangun kemudian ditinggalkannya begitu saja lantas memulai yang baru lagi?

Di ranah sastra Indonesia, sejak pertengahan 2012 nama Norman Erikson Pasaribu dikenal sebagai cerpenis. Nama penulis tersebut kemudian berhasil meraih penghargaan Sastrawan Muda Asia Tenggara oleh Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2017.

Norman Erikson Pasaribu dengan buku karyanya yang mendapatkan penghargaan kelas dunia


Nama Norman Erikson Pasaribu mencuat ketika karyanya berjudul  “Sepasang Sosok yang Menunggu”  masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2012. Buku kumpulan cerita pertamanya,”Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku harus Menunggu”,  adalah salah satu dari lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa untuk Kategori Prosa pada 2014.

Pada Desember 2015, dia kembali muncul sebagai pemenang Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) lewat naskahnya yang berjudul  “Sergius Mencari Bacchus”.

Lahir di Kayumanis, Jakarta Timur,  di rumah kontrakan orangtuanya yang sederhana,  Norman Erikson Pasaribu, hanya punya kesempatan bermain sampai usia tiga tahun lebih sedikit di belahan Timur Jakarta itu. Keluarganya memilih pindah domisili di Rawalumbu, Kota Bekasi. 

Masuk TK B, Norman yang bertubuh bongsor tidak mau melanjut ke TK A. Orangtuanya terpaksa merayu pihak sekolah swasta agar mau menerima anaknya masuk SD kelas I dengan usia lima tahun. 

Apa yang dimohonkan orangtua dikabulkan pihak sekolah. Norman melewatkan SDnya mulus. Selaku anak sulung, orangtuanya pun berusaha memanjakannya dengan memberikan berbagai macam mainan mulai dari robot-robotan sampai pesawat terbang. Juga disodorkan bacaan majalah anak-anak ditambah suratkabar yang secara rutin masuk ke rumah orangtuanya.

Setelah duduk di bangku SMPN, Norman sudah mulai menyukai bahan bacaan majalah remaja, termasuk cerita fiksi dari luar negeri yang sudah diterjemahkan. Sampai lulus SMAN di Bekasi Norman belum menunjukan kecintaannya terhadap sastra. 

Namun muncul tanda Tanya di hati orangtuanya ketika Norman mengikuti tes penyaringan masuk perguruan tinggi negeri. Dia diterima di beberapa perguruan tinggi negeri dan kedinasan secara bersamaan. 

Oleh karena Universitas Indonesia (UI) yang terlebih dulu mengumumkan hasil penyaringan, Norman yang rupanya memilih Sastra sebagai pilihan pertama, sempat duduk dan berkuliah di Fakultas Hukum UI. 

Ternyata diterima pula dia di salah satu perguruan tinggi kedinasan. Dengan pertimbangan tidak bakal betah bekerja di institusi itu, Norman pun memilih tidak meneruskan perkuliahannya di sana. 

Pengumuman lagi STAN, Norman Erikson Pasaribu diterima pula. Orangtuanya yang bakal menghadapi tanggung jawab besar dengan sekolah kemudian kuliah adik-adiknya, meminta pengertian dari Norman. Demi adik-adik dan orangtua Norman diminta mengambil perkuliahan di STAN agar bisa lanjut bekerja. 

Dikasih hadiah labtop Norman akhirnya mengikuti permintaan orangtuanya. Perkuliahan di STAN mulus yang disusul bekerja di DJP. Sempat ditempatkan di Manado, Sulawesi Utara, Norman kembali ke Jakarta untuk merampungkan D4-nya di STAN. 

Selepas melampaui pendidikan itu dengan mulus, Norman ditugaskan lagi di Jakarta. Sejak inilah cerita mulai berbelok.  Ada ketidakenakan dengan suasana. Mulai dari bahasa lisan dan badan. Ada serorang cungkring merasa tidak sepaham dengan Norman. Berhubung dia pimpinan maka jadilah sebagian besar menjadikan Norman sebagai bukan kawan bersama. 

Kebahagiaan mementaskan operet dan kegembiraan mendapatkan aplaus tawa dari penonton di instansinya bekerja pun akhirnya diputuskan untuk ditinggalkan. Tentu saja tidak semudah yang dibayangkan untuk mendapatkan panggung sebagai penulis cerpen, puisi atau tulisan apapun lainnya. Harus berjuang dan berjuang, jatuh bangun, bergerak mengejar apa yang menjadi sasaran cita. 

Sempat dia mencicipi keenakan sebagai pemuisi atau sastrawan. Dia diundang ke beberapa Negara diantaranya ke Vietnam, Australia dan beberapa Negara lainnya. Namun masa bersemi itu tidak terus berkelanjutan. Covid-19 membuat segala macam program luar negerinya hancur berantakan. Yang sudah dijadwalkan tidak bisa direalisasikan, sementara sebagaimana kaum muda milenial kebutuhan hidupnya terbilang tinggi.

                                          Penghargaan Republic of Consciousness 2022

Tidak bisa terus menerus menunggu. Norman pun “keluar” begitu Covid-19 yang mendera dunia kian melandai. Hasilnya mengejutkan, Norman Erikson Pasaribu meraih penghargaan Republic of Consciousness 2022 melalui karyanya yang berjudul “Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya” yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris  menjadi “Happy Stories, Mostly”.

Nama Indonesia kembali diharumkan anak muda Batak itu di lingkup sastra dunia setelah sastra Indonesia. Norman Erikson Pasaribu melalui karyanya “Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya” berhasil memenangkan penghargaan internasional yang membanggakan bagi Indonesia tentunya, mengingat ajang itu merupakan penghargaan sastra yang diadakan oleh kelompok penerbit dari Inggris.

Di tahun 2022 ini, Norman Erikson Pasaribu yang ingin berkuliah bahasa Batak ini dianugerahi kehormatan penghargaan berhadapan dalam kompetisi dengan buku-buku fenomenal lain dari ragam penjuru dunia seperti “Dark Neighborhood” karya Vanessa Onwuemezi, “Sterling Karat Gold” karya Isabel Waidner, dan “The Song of Youth” karya Montserrat Roig. Hal ini menunjukkan betapa solid dan kuatnya karya Norman Pasaribu bahkan di mata internasional. Buku “Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya” ini sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penulis merangkap penerjemah ternama, Tiffany Tsao. 

Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak nama-nama besar penulis dan sastrawan, tentunya tidak lupa pencapaian ini memiliki arti besar bagi kemajuan dunia sastra Indonesia. Tidak berlebihan kiranya jika Norman Erikson Pasaribu dipulihkan statusnya di institusi tempatnya mengabdi terdahulu. Tentu saja dia diberi kesempatan menggeluti bidang yang bersesuaiannya dengan bakatnya. Tidaklah berlebihan kalau dia diberi keleluasaan untuk tetap tampil jadi yang terbaik untuk perjalanan sastra dan sastrawan Indonesia ke depan. Pengharuman bangsa dan negara Indonesia perlu juga diukir dari dunia sastra dengan figur-figur penuh bakat, salah satunya Norman Erikson Pasaribu yang sudah menunjukan kemapuan dan hasil karyanya yang mendunia.***

Share it:

Seni dan Budaya

Post A Comment:

0 comments: