Demi Kepentingan Asing, Rakyat Dikorbankan

Share it:

Menyoal Praktek Korupsi Kebijakan


JAKARTA,(MediaTOR) - Sejak era Orde Baru hingga era Reformasi, praktek korupsi merupakan tindak pidana yang selama ini menggerogoti sistem pemerintah Indonesia dan kini dinilai semakin kronis.Di negeri ini, selain praktek korupsi secara langsung, juga terjadi praktek korupsi kebijakan; baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Tragisnya, yang disebut kebijakan tersebut akhirnya menindas rakyat kecil.

Pada kenyataannya, praktek korupsi ini lebih parah akibat yang terjadi, dibandingkan dengan korupsi konvensional. Dengan korupsi kebijakan, aturan ataupun undang-undang sekalipun kerap diabaikan. Misalnya saja, dengan dalih agar investor asing tertarik menanam modal di Indonesia, mereka diberi kemudahan.

Akhirnya nyawa rakyat pun dikorbankan atau harus meringkuk di terali besi. Seperti yang terjadi di Mesuji-Lampung, Bima-NTB, Meranti-Riau, Seruyan-Kalteng, dan juga Irian.

Dengan demikian akibat korupsi kebijakan, segala sektor akan keropos dan nilai materi yang dirugikan pun dapat bernilai luar biasa dan sulit diawasi. Jelaslah bahwa korupsi jenis ini dapat membunuh atau meruntuhkan bangsa. Dan lebih tragis lagi, korupsi kebijakan sudah terbukti merampok hak dasar hidup rakyat.

“Hampir seluruh kebijakan pemerintah pusat maupun daerah bertentangan dengan undang-undang. Pada akhirnya yang sengsara adalah rakyat. Mau dibawa kemana negeri ini?” ujar Marajo E Hutagaol SH MH, advokat senior ibukota dalam diskusi “Menyoal Korupsi Kebijakan” di Kantor Redaksi Surat Kabar MediaTOR baru-baru ini.

Bahkan, tambah Marajo, hampir semua kebijakan Pemda menyalahgunakan reformasi. “Sehingga terjadilah korupsi kebijakan,” tandasnya.

Tanggapan senada diungkapkan Firdaus SH, praktisi hukum ibukota yang juga penasehat hukum masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat yang ditindas pengusaha tambang emas melalui oknum-oknum aparat. “Yang menjadi pertanyaan, setelah era reformasi. Ada pencanangan anti korupsi, namun ditubuh pencanang sendiri malah melakukan sebaliknya. Dari tahun ke tahun malah terjadi peningkatan tindak korupsi. Ironisnya, setelah ada lembaga pemberantasan korupsi (KPK, Red.), bukan mengurangi korupsi, malah kebalikannya,” tandas Firdaus lagi.

Dalam pandangan Sabar Hutauruk SH, sejak era Reformasi, banyak produk undang-undang yang dibuat. Tragisnya, para pembuat keputusan sering membuat kebijakan yang bertentangan dengan aturam yang dibuatnya sendiri. “Salah satu contoh, wacana pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM bersubsidi. Kebijakan ini, jelas melanggar pasal 7 ayat 6 UU No 22/2011 tentang APBN 2012, yang menyatakan harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Jadi pemerintah sendiri melanggar UU,” tandas Sabar.

Deklarasi percepatan pemberantasan korupsi yang pernah didengungkan SBY pada Kabinet Indonesia Bersatu I, ternyata tak lebih bagaikan lips service belaka. Bahkan kini, praktek korupsi sangat mengakar di tingkat daerah dan masih tersentralnya pemberantasan korupsi di tingkat pusat. Meskipun banyak kalangan LSM yang cukup kritis menyoroti hal tersebut. (AY/AW/DK/EK/Grd)

Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: