Terpidana Robianto Idup Tak Kunjung Dieksekusi Ke Bui, Seharusnya Ditetapkan Buron

Share it:

Jakarta,(MediaTOR Online) - Eksekusi terpidana pengusaha tambang Robianto Idup tidak kunjung terealisasi. 

Dua ahli hukum pidana terkenal masing-masing Prof Dr Andre Yosua SH MH MA, Dr Effendi Saragih SH MH pun, bahkan juga Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Dr Amir Yanto SH MH menyoroti tak kunjung dieksekusi terpidana Robianto Idup oleh eksekutor Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan/Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.

Setelah pemanggilan secara patut dilakukan eksekutor Kejari Jakarta Selatan/Kejati DKI tetapi tak digubris terpidananya, eksekutor sudah seharusnya melakukan jemput paksa terhadap terpidana yang tak peduli tahapan-tahapan proses hukum kasusnya itu. "Jika pada waktu jemput paksa itu terpidananya tidak ada di tempat atau menghilang maka sudah seharusnya dimasukan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau menjadi buronan," ujar Dr Effendi Saragih SH MH, Rabu (15/9/2021). 

Sidang kasus Robianto Idup di PN Jakarta Selatan

Alasan terpidana tengah menempuh upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK), sama sekali tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi atau terpidana jalani hukuman. "Hukuman dijalani saja dulu. Kalau PK dikabulkan atau terpidana dibebaskan, ya dieksekusi atau dikeluarkan lagi dari penjara. Harus seperti itu  demi kepastian hukum dan keadilan," ujar Effendi Saragih yang sehari-harinya mengajar di Universitas Trisaksi Jakarta pada Fakultas Hukum itu.

Pendapat hampir sama dikemukakan Prof Dr Andre Yosua SH MH MA. Setelah Kejaksaan atau eksekutor menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung (MA), jaksa harus cepat-cepat melaksanakan putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. "Jangan ditunda-tunda, selain demi keadilan bagi saksi korban pelaksanaan eksekusi juga demi kepastian hukum dan keadilan," ujar Prof Andre Yosua SH MH MA. Jika menunda-tunda atau menelantarkan eksekusi bisa juga diartikan eksekutornya tidak menggubris perintah/putusan MA.

Menurut Jamwas Dr Amir Yanto SH MH, jika eksekutor tidak melaksanakan tugasnya Jaksa Agung Muda (JAM) terkait (Jampidum) perlu melakukan eksaminasi. Apabila hasil eksaminasi Jampidum tersebut menunjukan ada pelanggaran disiplin oleh eksekutor, maka Jamwas akan menanganinya lagi untuk kemudian menjatuhkan sanksi. "Setiap putusan yang berkekuatan hukum tetap seharusnya segera dieksekusi. Hal itu demi kepastian hukum dan keadilan," ujarnya.

Menunda-tunda eksekusi apalagi sampai terkesan menelantarkan bakal mengundang kecurigaan berbagai pihak terhadap eksekutornya. Tidak laksanakan tugas secara sengaja termasuk suatu pelanggaran disiplin yang berakhir dengan penjatuhan sanksi.

Pelaksanaan eksekusi terpidana Robianto Idup sampai saat ini dibuat simpang-siur oleh Kejaksaan. Jampidum Dr Fadil Zumhana SH MH ketika ditanya terlunta-luntanya eksekusi sebelumnya, mempersilakan menanyakannya ke Kajari Jakarta Selatan atau ke Kejati DKI Jakarta. Ketika ditanyakan ke Kejati DKI disebutkan akan diingatkan Kejari Jakarta Selatan. Namun yang terakhir ini tidak mau memberi penjelasan sudah sampai sejauh mana eksekusi terhadap terpidana Robianto Idup. Yang pasti terpidana Robianto Idup sampai saat ini belum menjalani hukumannya. Bahkan keberadaannya saat ini teka-teki. Ada yang menyebut masih di Jakarta tetapi ada pula info menyebutkan berada di luar negeri.

Terpidana Robianto Idup yang Komisaris PT Dian Bara Genoyang (DBG) sempat buron atau DPO sampai kemudian di-rednotice-kan saat kasus penipuan yang dilakukannya terhadap saksi korban Herman Tandrin, pemilik PT Graha Prima Egergi (GPE) dalam tahap penyidikan.

Setelah dipulangkan dari Belanda dan dijebloskan ke dalam tahanan untuk selanjutnya kasusnya disidangkan, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pimpinan Florensani Kendengan SH MH membebaskannya. Tetapi di tahap kasasi Mahkamah Agung (MA) menganulir putusan PN Jakarta Selatan itu kemudian menghukum Robianto Idup 1,5 tahun penjara.

Robianto Idup sebelumnya dituntut JPU Marly Sihombing dari Kejati DKI dan jaksa Boby Mokoginta dari Kejari Jakarta Selatan selama 3,5 tahun penjara terkait kasus penipuan yang dilakukannya terhadap saksi korban Herman Tandrin. Oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pimpinan Florensani Kendengan tuntutan 3,5 tahun itu di-onzlagh-kan. Komisaris PT Dian Bara Genoyang (DBG) itu baru menjadi terpidana setelah kasasi  jaksa dikabulkan Mahkamah Agung (MA). 

Robianto Idup saat diperiksa secara virtual di PN Jakarta Selatan

Kasus penipuan yang menyeret Robianto Idup terjadi sejak ada kerja sama antara Robianto Idup selaku Komisaris PT DBG dalam usaha pertambangan batubara dengan Herman Tandrin Dirut PT GPE pada pertengahan tahun 2011.  PT GPE yang memiliki peralatan lengkap diperjanjikan  mengerjakan penambangan batubara di wilayah izin pertambangan PT DBG di Desa Salim Batu Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. 

PT GPE pun melakukan mobilisasi unit, land clearing dan pekerjaan overburden sesuai yang diperjanjikan sampai Agustus 2011. Kemudian dilanjutkan penggalian batubara September 2011. Namun PT DBG tidak kunjung melakukan pembayaran atas kerja PT GPE hingga mengancam menyetop pelaksanaan pekerjaan penambangan. Selanjutnya Robianto Idup yang sebelumnya sudah saling kenal meyakinkan Herman Tandrin bahwa dirinya bukanlah tipe orang tak konsisten membayar hutang.  Tersangka meminta diteruskan pekerjaan selanjutnya karena akan dibayar sekaligus dengan bayaran yang telah dilaksanakan maupun yang dikerjakan selanjutnya.

PT GPE pun melakukan eksplorasi penambangan batubara hingga menghasilkan sebanyak 223.613 MT atau senilai Rp 71.061.686.405 untuk PT DBG. Namun, pihak PT DBG yang diwakili Robianto Idup tak kunjung membayar PT GPE yang ditaksir mencapai Rp 72 miliar lebih. ***

Share it:

Hukum Dan Kriminal

Post A Comment:

0 comments: