Prabowo Subianto Wakil Presiden Ganjar Pranowo? Oleh: Embay Supriyantoro

Share it:



Pemilu dan Pilpres 2024 masih menghitung hari. Namun perpolitikan Indonesia semakin dinamis dengan berbagai hal yang menyangkut pilihan rakyat Indonesia khususnya terkait siapa yang akan moncer menjadi Presiden menggantikan Jokowi.

Ternyata persoalan yang muncul saat ini bukan hanya soal Partai yang telah mengusung Capres, namun juga belum bertemunya siapa yang akan mendampingi Capres nanti dalam konstetasi Pilpres di 2024. Di hari Kartini, tepatnya jelang Lebaran Idul Fitri, seluruh masyarakat menantikan apa yang akan dinyatakan oleh Ketua Umum PDIP terkait Capres yang akan diusungnya. Ternyata apa yang dinyatakan sangat diluar kejutan, yakni Ganjar Pranowo. Jauh dari banyak perkiraan orang bahkan pengamat yang memprediksi Puan Maharani yang akan dijadikan Capres oleh PDIP di hari bersejarah tersebut. 


Bagi sebagian orang yang cukup memahami karakter Megawati Soekarno Putri, akan tidak cukup sulit memahaminya. Karena Megawati sendiri, bukanlah sosok Ibu atau Perempuan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Beliau adalah seorang tokoh politik yang mempunyai Rasionalitas (Refleksi, Aksi dan Diskusi) yang mumpuni, terbukti tahun 2014 dan 2019, Megawati berhasil memimpin PDIP sebagai peraih suara terbanyak untuk DPR RI dan berhasil menjadikan Jokowi sebagai Presiden untuk ke 2 (dua) kalinya.

Dengan konteks itu, kiranya apa yang dilakukan oleh PDIP, saat ini untuk mengulang 2x keberhasilan di Pemilu Legislatif dan Pilpres bukanlah yang susah, walaupun masih harus di uji di lapangan. Ini dibuktikan dengan beberapa hasil Survey terkait elektabilitas Partai Politik yang masih menempatkan PDIP sebagai Partai yang tetap berada di Urutan I yang kemudian disusul oleh Gerindra dan Nasdem. Dalam surveynya Polltracking yang dirilis pada akhir April 2023, masih menempatkan PDIP di angka 23,3% dan selanjutnya Gerindra dengan angka16,3%, tempat ke tiga Nasdem dengan 8,8%.

Data ini menunjukkan PDIP sebagai partai politik masih mempunyai tingkat kedisiplinan organisasi, kader dan seluruh perangkat kepartaian yang cukup solid dan militant dalam menerjemahkan kehendak dan keinginan Partai yang selalu diutarakan oleh Megawati sebagai Ketua Umumnya.






Lalu bagaimana dengan Cawapresnya? Sudah banyak pernyataan bahwa, walaupun PDIP mempunyai Golden Ticket untuk mengusung satu pasang Capres dan Cawapres di 2024, namun PDIP juga menyadari dan tidak mau gegabah dan jumawa sebagai pemilik Golden Ticket. Apa yang dilakukan PDIP pada tanggal 21 April tersebut, telah mengubah arah permainan politik semua Parpol dalam menyikapi apa yang dicetuskan oleh Megawati. Ini dibuktikan dengan PPP yang sejak awal bergabung dengan KIB (Koalisi Indonesia Bersatu), bersama PAN dan Golkar, telah menyatakan dukungannya kepada PDIP untuk ikut mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai Presiden. Inipun diikuti oleh Hanura dan PSI. 

Bahkan Jokowi sekalipun, yang telah melakukan mapping politiknya dengan beberapa pemimpin Partai Politik yang ada di kabinetnya. Mau tidak mau, sebagai Petugas Partai Jokowi akhirnya harus ikut dalam genderang yang telah ditabuhkan oleh Megawati sebagai Ketua Umum yang menugaskannya.

Jokowi sebagai Presiden, tentunya juga mempunyai modal kinerja yang tidak dapat diremehkan sampai hari ini. Modal Tingkat Kepuasan Publik yang dimiliki oleh Jokowi sampai hari ini di angka 74,4%. Ini membuktikan Pemerintahan Jokowi mempunyai peran yang sangat penting dalam konteks Pilpres 2024. Nah dalam kesempatan sehabis sholat Ied bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang juga Capresnya, Jokowi telah menyebutkan beberapa nama Cawapres yang dapat atau mungkin diharapkannya, yakni Erick Tohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartatanto dan terakhir disebut, Prabowo Subianto. Dalam konteks sengaja atau tidak, memahami atau tidak seperti apa hari ini Partai Gerindra, Jokowi sangat memahami konteks politik bahwa Gerindra mempunyai kans cukup besar untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres walaupun cukup dengan PKB di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Makanya nama Prabowopun disebutkan belakangan.

Namun banyak pengamat, apa yang dinyatakan oleh Jokowi masih menyiratkan Jokowi tidak mau ditinggal dalam permainan politik yang makin dinamis ini. Apalagi, cawapres yang banyak disebutkan oleh para pengamat ini masih bekerja untuknya di Kabinet. Dan layaknya pembantu presiden, gerak politik apapun wajib untuk dikomunikasikan dan dikoordinasikan kepada Presiden. Hal inilah yang terungkap dalam wawancara Sandiaga Uno dalam Podcast Total Politik beberapa hari yang lalu.

Demokrasi dan Kepentingan Nasional 

Pemilu dan Pilpres 2024 memang jadi sangat menarik karena, kali inilah Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden akan dijadikan serentak dengan menelan biaya Rp 76,6 Triliun. Tentunya hal ini akan cukup membebani APBN yang juga harus menanggung beban pembiayaan berdirianya IKN (Ibu Kota Nusantara) dan beberapa proyek strategis nasional lainnya, seperti Kereta Api Cepat.

Indonesia mengenal tiga (3) jenis pesta rakyat. Pemilu, Pilkada dan Pilkades. Pemilu terdiri dari Pemilihan Presiden, Pemilihan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupatan/Kota. Sedangkan Pilkada terdiri dari pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pilkades untuk pemilihan Kepala Desa. Dan ketiganya sangat bergantung kepada APBN dan APBD. Untuk dapat melaksanakan pesta rakyat tersebut, Negara harus merogoh kocek APBN sebesar Rp 110,4 Triliun. Apakah ini wajar untuk pembiayaan Demokrasi?

Sebagai negara Indonesia adalah satu negara yang memilih dan menganut sistem demokrasi. Dalam sistem model ini, kekuasaan Negara dikelola oleh wakil-wakil atau representasi rakyat. Representasi  rakyat itu dipilih melalui rangkaian panjangan kontestasi. Proses ini lazim dikenal sebagai pemilihan umum (pemilu). Untuk melaksanakan pemilu yang sering disebut pestanya demokrasi rakyat itu membutuhkan biaya besar. Tidak gratisan. Makanya, tidak heran apabila ada sarkasme politik yang menyatakan, “jika memilih demokrasi liberal maka kocek uang Negara harus tebal dan padat. Jika mau murah pilih otoritarian”. Selain itu, pelaksanaanya harus regular dan terencana dengan apik. Inilah pangkal masalahnya. Berbiaya besar dan harus rutin dilaksanakan.

Dari ilustrasi diatas memang cukup berat beban negara untuk pembiayaan politik lima tahunan ini. Dimana sebetulnya secara Hakiki tujuan dari Demokrasi itu adalah Kesejahteraan Rakyat seperti yang tertuang dalam sila ke 5 Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Inilah kepentingan nasional yang sesungguh sungguhnya.

Terkait dengan Pilpres 2024, jika kita sebagai bangsa memahami dan memaknai Pesta Rakyat 2024 dalam konteks kepentingan nasional seperti yang tertuang dalam Ideologi Bangsa Pancasila tentunya elit politik tidak akan terlalu sibuk mempengaruhi perspektif, persepsi dan opini public atas nama Demokrasi. Karena toh, tujuan dari demokrasi itu sendiri adalah kesejahteraan yang dikelola bersama-sama sebagai satu bangsa.

Dalam konteksi ini, Pemilu dan Pilres 2024 harus dilihat sebagai proses peralihan kekuasaan samata yang tidak harus begitu banyak membuang energi (Materi, SDM, Kejiwaan dan Emosi) kita sebagai bangsa. Baik dari segi persiapan dan hal-hal lainnya, walaupun pesta demokrasi itu harus tetap dilaksanakan 5 tahun sekali dalam ruang Politik yang Pancasilais. Bukan politik demokrasi liberal seperti saat ini.

Jika dalam konteks ini, sebagai seorang Patriot Bangsa, Prabowo Subianto, mempunyai kesempatan yang besar untuk menorehkan tinta emasnya sebagai anak bangsa dalam perjalanan politiknya. Bayangkan saja, sebagai seorang militer ketika itu (1998), Prabowo berani pasang badan untuk melindungi Pimpinan-pimpinannya di TNI bahkan keluarga Cendana. Prabowo rela dalam beberapa tahun pasca 1998, diasingkan atau memang itu keputusannya sendiri, pergi dari Indonesia dan menetap di Jordania. Bahkan mungkin, jika saja Prabowo tidak diposisikan oleh Jokowi di kepemimpinannya yang ke 2 sebagai Menteri Pertahanan, cap Pelanggar HAM berat masih tertuju padanya. Bahkan larangan Prabowo ke USA sebagai yang katanya Mbahnya HAM, sampai hari ini masih berlaku. 

Memang kembalinya Prabowo Subianto ke arena panggung politik Indonesia bukanlah tanpa perhitungan. Mendirikan Ormas Gerakan Indonesia Raya sebagai Metamorfosanya Partai Gerindra, juga bukanlah tanpa perhitungan. Dengan melibatkan beberapa tokoh yang berseberangan bahkan “diculik”, Desmond J Mahesa dan Pius Lutrilanang, merupakan langkah Prabowo untuk mengatakan kepada public, bahwa saya sudah selesai dengan urusan pelanggaran HAM. 

Walaupun dalam perjalanan politik selanjutnya, Prabowo pada tahun 2009 (bersama Megawati), 2014 (bersama Hatta Rajasa), 2019 (bersama Sandiaga Uno), belum berhasil dalam konstetasi Pilpres, jelang 2024 cukup membuat Prabowo kembali percaya diri jika melihat beberapa hasil survey elektabilitas dirinya yang selalu berada di urutan pertama mengungguli Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. 

Namun, apakah hasil survey menjamin Prabowo kemudian menjadi Presiden? Tentunya akan terlalu cepat mengambil kesimpulan itu. Seperti Bahasa Adian Napitupulu dalam acara dialog di stasiun TV Swasta, Ganjar belum diendorse atau diusung partai (PDIP) saja, bahkan terimbas isu Piala Dunia U 20 soal Israel, surveynya selalu di urutan ke 2 dengan angka 26%. Apalagi jika sudah diusung oleh PDIP.

Tentunya hal ini sangat beralasan. Karena Partai yang secara konsisten dan mempunyai soliditas serta kedisiplinan Kader dan Anggota hanya PDIP, sampai saat ini. Ini artinya, mesin politiknya belum bekerja saja, PDIP sebagai partai dan Capresnya, Ganjar Pranowo masih mendominasi arus utama politik negeri ini.

Nah disinilah pentingnya menegakkan kembali Benang Merah kebangsaan antara Gerindra dan PDIP bersama Partai-Partai di KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) dan KKIR (Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya) dalam mewujudkan Kepentingan Nasional. Dimana Prabowo Subianto mampu dan berkeinginan menorehkan Tinta Emas dalam sejarah Republik sebagai Patriot Bangsa dengan mengedepankan Kepentingan Nasional dan Kepentingan Bangsa di atas segala-galanya, sebagai Cawapres dari Ganjar Pranowo. 

Justru dengan cara ini juga, Pemerintahan Jokowi yang sering kali diasumsikan oleh banyak pengamat yang mengorkestrasi KIB dan KKIR dapat landing dengan baik dan mulus. Tentunya juga asumsi yang menyatakan bahwa, Pemerintahan Jokowi melakukan “Black Ops” kepada Capres Anies Baswedan yang diusung oleh Nasdem, PKS dan Demokrat, akan sirna dengan sendirinya dalam pertarungan politik pilpres di 2024. Yang sekali lagi hanya 1 putaran dengan 2 pasanga Capres dan Cawapres yang tentunya akan sedikit meringankan beban APBN. 

Mungkin saja ini dapat terjadi jika PDIP dan Gerindra, beserta Koalisi Besar (KIB dan KKIR) khususnya para Pimpinannya Tawadhu dalam melihat konsepsi bernegara dan berbangsa ke depan yang semakin banyak tantangannya untuk menjadikan Indonesia Hebat.*** Embay Supriyantoro; Penulis adalah Aktivis 98















Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: