Diduga Tewas di SPBU, Korban Kecelakaan Kerja Berhak Tuntut Hak Sesuai Hukum

Share it:

Oleh : Muhammad Fadhil, S.H.,

Bekasi,(MediaTOR Online) - Aldi, seorang pekerja di SPBU 34-17120 yang menjabat sebagai wakil pengawas (foreman), diduga tewas dalam kondisi mengenaskan di dalam ruang saluran pompa (bunker) SPBU tempatnya bekerja.

Peristiwa ini menimbulkan sejumlah pertanyaan hukum, baik dari aspek pidana maupun ketenagakerjaan, terutama menyangkut hak-hak almarhum dan tanggung jawab pihak perusahaan.

Aldi ditemukan dalam keadaan tergeletak tak bernyawa di dalam bunker di lingkungan SPBU pada senin pagi, 19 Mei 2025. Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya dengan judul "Pekerja SPBU Diduga Tewas di Bunker, Karena Jatuh, Konsumsi Obat, Serangan Jantung?"

Setelah dievakuasi, korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Ananda Tambun Selatan. Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya "Diduga Tewas di SPBU Pengasinan, RS Ananda Tambun Selatan: Memang Bau Bensin"

Namun, dokter menyatakan bahwa Aldi telah meninggal dunia sekitar 30 menit sebelum tiba di fasilitas medis dengan bau bensin yang menyengat.

Menurut keterangan Arifin, selaku pengawas di SPBU tersebut, Aldi bekerja di SPBU tersebut tanpa kontrak tertulis dengan upah Rp1,7 juta per bulan yang dibayarkan secara tunai (uang cash/Red).

Aldi juga tidak tercatat sebagai peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan (BPJS TK), sehingga tidak memiliki perlindungan kerja sebagaimana mestinya.

Dalam pandangan hukum pidana, kematian Aldi tidak serta - merta dianggap selesai hanya karena keluarga menyatakan keikhlasan dan tidak menuntut pihak SPBU.

Hukum di Indonesia menganut delik umum, artinya peristiwa pidana tetap dapat diusut oleh aparat penegak hukum meskipun tidak ada laporan dari keluarga atau korban.

Hal ini ditegaskan dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan prinsip hukum pidana Indonesia yang memberi wewenang kepada negara untuk menindak dugaan tindak pidana.

"Peristiwa ini masuk dalam kewenangan penyidik untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan, khususnya jika ditemukan kejanggalan terkait kematian korban," ujar Muhammad Fadhil, S.H., Ketua Lembaga Bantuan Hukum Federasi Serikat Buruh Kimia Industri Umum Farmasi dan Kesehatan.

Menurutnya, pihak kepolisian bisa melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan autopsi jenazah untuk memastikan penyebab kematian Aldi, apakah karena kecelakaan kerja, kelalaian, atau kemungkinan unsur kesengajaan.

Apalagi SPBU merupakan objek vital nasional yang seharusnya memiliki prosedur operasional standar (SOP) dan sistem keselamatan kerja (K3) yang ketat. 

Tidak dipenuhinya standar tersebut dapat menjadi faktor penting dalam menentukan ada atau tidaknya tindak pidana kelalaian oleh pihak pengelola SPBU.

Hak Pekerja Menurut Hukum Ketenagakerjaan

Secara hukum ketenagakerjaan, kematian Aldi termasuk dalam kategori kecelakaan kerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Pasal 1 angka 15 UU tersebut menyatakan bahwa hubungan kerja dapat dibuktikan dengan adanya pekerjaan, perintah kerja, dan upah, meskipun tanpa perjanjian tertulis.

Dengan demikian, Aldi secara hukum dianggap sebagai pekerja sah, dan hak-haknya tetap berlaku. 

Ahli warisnya berhak atas:

Santunan kematian akibat kecelakaan kerja,

Santunan berkala,

Biaya pemakaman, dan

Beasiswa pendidikan bagi anak (jika ada tanggungan).

Dalam konteks ini, pihak pengusaha (SPBU) memiliki kewajiban hukum untuk mendaftarkan setiap pekerja ke dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. 

Jika pengusaha lalai atau sengaja tidak melaksanakan kewajiban tersebut, maka mereka wajib menggantikan seluruh hak dan santunan yang seharusnya ditanggung oleh BPJS TK.

"Perusahaan tidak bisa bersembunyi di balik tidak adanya kontrak kerja. Hukum melihat substansi hubungan kerja, bukan formalitasnya. Bila Aldi dipekerjakan dan menerima upah, maka ia adalah pekerja yang memiliki hak perlindungan penuh menurut hukum," tegas Ketua LBH FSB KIKES.

Kasus seperti ini bukan hanya menyangkut keadilan bagi satu keluarga, tetapi juga mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja informal di sektor-sektor penting. 

Banyak perusahaan kecil hingga menengah yang masih enggan memberikan perlindungan kerja yang layak dan sah secara hukum, terutama dalam sektor energi seperti SPBU yang memiliki risiko kerja tinggi.

"Ini bukan soal belas kasihan. Ini soal hukum dan hak. Negara wajib hadir untuk menegakkan perlindungan bagi pekerja," tambahnya.

Saran hukum pidana dan hukum ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

Penyelidikan menyeluruh oleh aparat penegak hukum untuk memastikan penyebab kematian dan mengungkap kemungkinan adanya pelanggaran SOP atau K3 oleh pengelola SPBU.

Tindakan hukum dari ahli waris untuk menuntut pemenuhan hak-hak almarhum sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Audit menyeluruh terhadap operasional SPBU oleh dinas tenaga kerja dan instansi terkait untuk memastikan perlindungan terhadap pekerja lainnya.

Kematian Aldi seharusnya tidak dianggap sebagai peristiwa biasa. 

Di balik tragedi ini, terdapat fakta menyedihkan tentang lemahnya perlindungan terhadap pekerja rentan. 

Negara, dalam hal ini aparat kepolisian dan dinas ketenagakerjaan, harus bertindak tegas untuk memastikan keadilan ditegakkan agar kejadian serupa tidak terulang.(*** Catatan: Penulis adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum Federasi Serikat Buruh Kimia Industri Umum Farmasi dan Kesehatan.(LBH FSB KIKES))

Share it:

Hukum

Post A Comment:

0 comments: