Rasa Nasionalisme Kian Memprihatinkan

Share it:
Jakarta,(MediaTOR).-Belum lama ini, segenap elemen masyarakat di seluruh pelosok negeri larut dalam suasana kegembiraan memperingati hari ulang tahun (HUT) RI ke 68. Ditengah rasa suka cita itu, bila kita mencoba merenungi lebih jauh perjalanan bangsa ini, pada usia yang sudah cukup dewasa tersebut, belakangan ini, pelan namun pasti rasa nasionalisme kian luntur dan memprihatinkan. Ancaman disintegrasi kian menonjol, banyak kalangan lebih mengedepankan golongan ketimbang memikirkan kepentingan rakyat. Bahkan, makin banyak kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Kepentingan asing kian mencengkeramkan kukunya di bumi pertiwi. Demikian juga, praktek korupsi korupsi kian merasuk di seluruh lapisan yudikatif, eksekutif dan legislatif. Lebih tragis lagi, negeri ini, kini menghadapi darurat narkoba serta lemahnya supremasi hukum. Akhir-akhir ini banyak diberitakan tentang perkelahian pelajar, perkelahian antar kelompok, perkelahian antar desa, ulah berbagai geng motor yang meresahkan masyarakat, terjadinya konflik antar umat beragama, bahkan bentrok antara pelajar dengan wartawan. Berita-berita tersebut sangat memprihatinkan, dan apabila para founding fathers Indonesia bisa bangkit kembali, tentu mereka sangat sedih atas hal tersebut. Rasa nasionalisme generasi muda Indonesia yang luntur itu sebenarnya hanya merupakan akibat dari tidak adanya contoh dari generasi di atasnya. Pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda Indonesia mendeklarasikan Sumpah Pemuda, tidak pernah diributkan masalah suku, agama, ras, atau kelompok yang mana. Tekad yang ada pada para pemuda itu adalah, kami mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Tidak ada embel-embel apa pun, seperti misalnya, kami mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, tapi suku Madura. Lunturnya rasa nasionalisme diakui Ketua DPR Marzuki Alie. Buktinya, Penyakit bolos anggota DPR RI sudah akut. Bahkan hingga ke DPRD mereka melakukan bolos seolah tanpa rasa bersalah. Ini terjadi karena sistem yang buruk dan rasa nasionalisme bangsa Indonesia sudah luntur. Hal itu disampaikan Ketua DPR RI Marzuki Ali saat berbincang dengan Radio Dakta yang dipandu Dhani Wahab, belum lama ini. Tanggapan senada juga diungkapkan Ketua LSM Gerakan Moral Masyarakat Purwakarta (GMMP), Hikmah Ibnu Ariel, pasca-Orde Baru runtuh, semarak kemerdekaan atau yang lebih dikenal Agustusan mulai luntur. Kegiatan, pernak-pernik Agustusan tidak seramai dulu, bahkan cenderung sepi. Warga juga banyak yang mulai malas memasang bendera di depan rumahnya. Bahkan sudah jarang terlihat lagi, gapura Agustusan yang cantik-cantik. Jadi, sejak reformasi dan perkembangan zaman, nasionalisme bangsa ini mulai luntur. Menurutnya, sungguh sangat ironi dengan kondisi bangsa saat ini. Nasionalisme dan patriotisme bangsa mulai luntur. Tergerus oleh budaya asing yang bersifat hedonis dan konsumerisme. Dia turut prihatin dengan kondisi bangsa ini. Diakui Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri dalam pidato yang disampaikan pada Peringatan Hari Kemerdekaan ke-67 Republik Indonesia, bahwa Indonesia dapat tampil menjadi negara maju, syaratnya, negara kita harus memiliki kemandirian, daya saing, dan peradaban yang unggul. Dari pernyataan ini, tersirat bahwa selama 67 tahun ini, Indonesia masih belum bisa memiliki kemandirian, daya saing dan peradaban yang unggul. Padahal dengan usia yang hampir setengah abad lebih, patutlah dipertanyakan sejauh mana kemampuan pemerintah dalam membangun tiga komponen tersebut. Contohnya saja, petani kedelai yang sejak jaman orde baru hingga saat ini belum pernah mendapat insentif yang memadai baik dari segi produksi, infrastruktur maupun manajemennya. Akibatnya, produksi kedelai nasional hanya mampu memenuhi 40 persen kebutuhan domestik. Sisanya didatangkan dari Amerika Serikat sebagai negara produsen utama biji-bijian. Menurut Ichsanudin Noorsy, perekonomian suatu negara disebut terjajah diukur lima indikator. Pertama, kepemilikan sumberdaya, produksi dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, enerji, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya. Seperti yang diungkapkan politisi senior Partai Golkar Ginandjar Kartasasmita beberapa waktu lalu, yang menilai pemerintah tidak belajar dari sejarah bangsa. Khususnya memetik pelajaran dari pemerintahan Orde Baru.”Pemerintah orde reformasi cenderung ragu-ragu mengambil kebijakan demi kepentingan bangsa,” ujar mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mantan Menteri Pertambangan dan Energi pada masa Orde Baru itu. Sementara itu, menurut Lembaga Survei Nasional (LSN), berdasarkan hasil survei yang dilakukannya,beberapa waktu lalu, kinerja Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  mendapat rapor merah dari publik. Dari hasil survey tersebut, rata-rata tingkat kepuasan publik kepada kinerja pemerintahan berada di bawah 45 persen. Dinilai, kinerja pemerintah SBY yang terburuk adalah di bidang hukum, ekonomi dan politik.Di bidang hukum tingkat ketidakpuasan publik mencapai 65,6 persen. Sementara itu, terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dan pemberian kompensasi kepada rakyat kecil mendapat kritikan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA memandang banyak kebohongan yang tidak diucapkan pemerintah kepada rakyat dibalik kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM dinilai hanya proyek sebagian elit menyusupkan program kepentingan partai politik jelang pemilu 2014. Menurut Sekretaris Jenderal FITRA Yuna Farhan mengatakan salah satu kebohongan pemerintah dalam menaikkan BBM subsidi adalah mengenai penghematan yang mencapai Rp 30 triliun. Namun menurut Farhan, penghematan Rp 30 triliun tersebut hanya akal-akalan pemerintah untuk mengelabui rakyat. Faktanya, dalam data FITRA, alih-alih mengurangi alokasi belanja subsidi, subsidi yang diajukan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013 justru membengkak. (AW/EW//RK/Prb/RD/Kmps/Ant/IC)
Share it:

Nasional

Post A Comment:

0 comments: