DPP NCW Desak Praktik KKN di Pemilu 2024 Dihentikan!!

Share it:


Jakarta,(MediaTOR Online) - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasional Corruption Watch (NCW) kembali menggelar konfrensi pers di Kantor DPP NCW yang berada di bilangan Pancoran Jakarta Selatan, Jumat (15/12/2023). 

Pesta pemilu 2024 sejak awal sudah diwarnai kumpulan drama Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dari penguasa oligarki yang sering mengaku menjadi korban dari sistem yang korup dengan didukung juru bicara baru yang sedang haus kekuasaan.

Setelah melihat rangkaian peristiwa yang diceritakan berbagai tokoh dan mantan pejabat penegak hukum dan aparat penegak hukum yang masih aktif saat ini, terpampang jelas berbagai dugaan pelanggaran konstitusi dilakukan Presiden Jokowi sejak periode pertama pemerintahannya 2014-2019.

Pelanggaran konstitusi Presiden terkait dugaan KKN dan kebebasan berekspresi yang paling mengemuka belakangan ini adalah :

Pertama, terkait kesaksian Agus Rahardjo dugaan keterlibatan Presiden Jokowi pada tahun 2017 dalam percobaan menghentikan penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Setya Novanto (Setnov), terdakwa kasus korupsi E-KTP yang sudah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tindakan Presiden Jokowi ini bertentangan dengan Pasal 22 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Kursi (Tipikor), dan bisa dijerat dengan hukuman pindana maksimal 12 tahun penjara.

“Baru periode pertama menjabat sebagai Presiden RI, Jokowi sudah mulai melanggar konstitusi, tahun 2017 seperti kesaksian Agus Rahardjo mantan Ketua KPK yang diteriaki Jokowi ‘hentikan’, maksudnya meminta Agus menghentikan kasus korupsi E-KTP Setnov di kala itu.  Sungguh tindakan memalukan, jika benar Jokowi melakukan perbuatan itu”, kata Hanif Ketua Umum DPP Nasional Corruption Watch (NCW).

DPP NCW mencermati rangkaian peristiwa diajukan dan disetujuinya revisi UU 30 Tahun 2002 Tentang KPK, menjadi UU No. 19 tahun 2019, bisa jadi berawal dari “ketidakpatuhan Ketua KPK Agus Raharjo” kepada Presiden Jokowi yang meminta kasus Setnov dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).  Namun, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masih merupakan lembaga independen, tidak bisa mengeluarkan SP3 dan tidak berada di bawah kekuasaan Presiden

RUU KPK No. 19 Tahun 2019 ada titik awal pelemahan KPK dengan memperluas kekuasaan Presiden Jokowi yang bisa intervensi KPK, karena KPK secara struktur berada di bawah Presiden.  KPK juga bisa mengeluarkan SP3 guna menghentikan penyidikan kasus korupsi jika ada “perintah” dan Surat perintah penyidikan (Sprindik) terhadap pejabat negara harus “persetujuan” dari Presiden.  

“Kami di NCW melihat, bahwa di tahun 2019 itulah, diduga orkestrasi pelanggengan kekuasaan dilakukan oleh Jokowi dan kroni-kroninya.  KPK dijadikan alat politik untuk menghantam lawan-lawan politik yang tidak sejalan dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Sungguh mengerikan jika dikaji lebih dalam tindak tanduk Jokowi sejak 2019,” lanjut Hanif memaparkan.

Kedua, pelanggaran UU No 28 Tahun 1999, atas dugaan intervensi dan nepotisme Presiden Jokowi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, saudara ipar Jokowi, yang meloloskan Gibran anak kandung Jokowi menjadi cawapres Prabowo melalui Keputusan MK No. 90 yang sangat kontroversi. Keputusan NO 90 tersebut, menguji Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang membuka peluang bagi capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada maju dalam Pemilu 2024. Dugaan ini sudah dibuktikan dengan Keputusan Majelis Kehormatan MK (MKMK), dengan memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK atas perbuatan melakukan pelanggaran etik berat terkait Keputusan MK No. 90 yang sangat kontroversi.

Ketiga, dugaan penerimaan gratifikasi posisi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) oleh Kaesang Pangarep dengan ‘relasi kuasa’ yang dimiliki oleh Jokowi, dapat dikategorikan sebagai penerimaan suap atau korupsi.

Keempat, melakukan orkestrasi kekuasaan (kolusi) dengan melibatkan para pembantu Presiden Jokowi, salah satunya oknum Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno guna mempercepat deklarasi Gibran menjadi cawapres Prabowo Subianto, dan menggunakan fasilitas negara melalui Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Budi Arie Setiadi guna melihat dan menurunkan sentimen negatif terhadap Prabowo-Gibran dan PSI-Kaesang.  Penggunaan oknum aparat dalam suksesi Gibran dan Kaesang juga sangat menjadi perhatian masyarakat, seolah-olah Jokowi tidak akan pernah turun dari jabatan presiden yang diamanatkan rakyat Indonesia sampai 2024 mendatang.

“Dan orkestrasi kekuasaan yang berbau KKN ini masih berlangsung hingga hari ini, bahkan terkait pemasangan ribuan baliho menggunakan oknum aparat, menghapus pasal terkait netralitas pada deklarasi pemilu damai 2024, bahkan debat Capres-Cawapres pun diintervensi oleh lingkaran istana.  Apa harus segitunya ya Pak Jokowi cawe-cawenya?” Ujar Hanif keheranan.

Kelima, menggunakan kekuasaan yang dimiliki melalui oknum aparat penegak hukum (APH) untuk mengintervensi, mengintimidasi dan merepresi jurnalis, awak media, aktivis pergerakan, mahasiswa, pelajar, budayawan, tokoh agama dan masyarakat yang berekspresi, berorasi atau mengeluarkan opini atas buruknya kinerja pemerintahan Jokowi, karena bisa menurunkan “rasa suka” rakyat ke Presiden Jokowi dan calon penggantinya nanti, Prabowo-Gibran.

“Bahkan mantan aktivis 98 seperti Fahri Hamzah, Budiman (PRD), akademisi sekelas Effendi Gazali dan lembaga-lembaga survei pun sudah seperti kehilangan nalar dan menghamba kepada Jokowi atau penguasa oligarki saat ini.  Sudah hilang kewarasan berpikir putra-putra terbaik bangsa ini demi uang atau kekuasaan,” ungkap Hanif geram.

DPP NCW berhasil mendapatkan data dan informasi rahasia dari sumber terpercaya, bahwa ‘kelakuan aneh’ para politisi senior yang berada di Koalisi Indonesia Maju (KIM), disebabkan tersandera oleh kelakuan ‘korup’ mereka sendiri. Sebut saja oknum menteri AH, ZH, BL, ET, DT dan PS yang saat ini maju sebagai Capres dari KIM.  Bahkan yang lebih mengerikan, PPATK mengendus peningkatan transaksi janggal naik lebih dari 100% di masa kampanye Pemilu 2024 yang sudah dilaporkan ke Bawaslu.  Dari informasi terbuka, menurut Kepala PPATK Ivan Yustiavanda (14/12/23).

”seharusnya yang bergerak itu Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK), namun yang terjadi dana bergerak ke rekening DCT yang berkontestasi," kata Hanif.

Kelakuan KKN rezim juga diperlihatkan oleh Caleg DPR-RI asal Partai Gerindra, Andre Rosiade.  Demi meningkatkan elektabilitas suara, Andre ini memanfaatkan relasi kuasanya sebagai ‘anaknya Prabowo’ dengan memanfaatkan fasilitas dan uang rakyat bekerja sama dengan oknum Menteri dan oknum direksi BUMN Listrik yang sempat viral di media sosial, ditonton lebih dari 5 juta penonton. 

“Bawaslu dan APH mestinya bergerak cepat menindak kelakuan arogan Andre Rosiade ini dan oknum caleg lainnya yang sudah dilaporkan PPATK, kelakuan korup dan menggunakan relasi kuasa ini membuat rakyat semakin “MUAK” dengan rezim pemerintah Jokowi saat ini.  Jangan sampai rakyat mencari keadilan mereka sendiri,” pungkas Hanif.

Dengan melihat semakin besarnya gelombang perlawanan dan rasa muak yang memuncak ditengah masyarakat dan kalangan cendikia, DPP NCW meminta para tokoh bangsa dan wakil rakyat di DPR-MPR-DPD segera mengambil sikap tegas, kekuasaan berlebihan yang diperlihatkan rezim Jokowi sudah selayaknya dihentikan melalui Sidang Istimewa atau berhenti secara terhormat.(MSA).

Share it:

Hukum

Post A Comment:

0 comments: